Tapi memang sebenarnya penggunaan masker di moda seperti KRL terasa krusial. Selain mencegah berpindahnya virus penyakit, harus diakui KRL di jam-jam padat penumpang kerap bermunculan aroma-aroma yang kurang bisa diterima oleh penciuman.
Katakanlah aroma keringat sesama penumpang dari mulai strawberry, vanilla, bercampur dengan aroma keringat yang usai diperas untuk mencari nafkah.
Belum lagi kalau pagi, bahkan aroma sambal bawang pernah tiba-tiba menyeruak di dekat saya. Sungguh sarapanable.
Polusi meningkat di Jabodetabek
Masih setianya orang memakai masker rupanya juga mempertimbangkan polusi udara yang terasa meningkat di Jabodetabek belakangan ini. Kualitas udara, khususnya di siang hari, rasanya tidak sedang baik-baik saja.
Ditambah pula fenomena banyaknya orang yang terlihat batuk-batuk dan bersin di tempat umum. Bahkan di tempat kerja saya beberapa orang secara bersamaan mengaku sedang tidak dalam kondisi fit dan kerapkali terlihat batuk.
Inilah yang patut diwaspadai. Pengguna transportasi massal adalah tipikal orang dengan mobilitas tinggi, bisa berganti moda setiap saat, juga jalan kaki di trotoar.
Wajar jika butuh masker untuk menahan polusi dan buruknya kualitas udara. Juga terhadap debu jalanan yang terbawa angin.
Sebagai pengguna transportasi publik, saya sih tetap berusaha memakai masker untuk perlindungan diri. Waspada kan boleh-boleh saja, terlebih kalau pakai masker jadi terlihat mirip oppa-oppa drakor, kan sah-sah saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H