Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dear Kampung Halaman, Benarkah Semua Ini tentang Uang?

30 April 2023   06:37 Diperbarui: 30 April 2023   06:46 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Kampung Halaman, tempat di mana aku merasa benar-benar berada di rumah.

Melalui surat ini terimalah permohonan maafku karena terlalu singkat waktu yang aku habiskan saat mudik lebaran tahun ini. Datang H-1 lebaran, dan kembali ke rantau H+1 lebaran.

Seingatku, memang inilah mudik tersingkat yang pernah aku lakukan. Meski sebenarnya, masih lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu tatkala aku tak bisa mudik sama sekali.

Waktu sesingkat itu sudah pasti tak akan pernah cukup untuk mengisi relung-relung rindu yang tertambat. Tapi setidaknya aku telah menuntaskan kewajiban utama saat mudik, yaitu sungkem kepada emak dan bapak.

Hai, Kampung Halaman.

Jika aku bisa melihat tubuh dan kepalamu, mungkin aku bakal melihatmu geleng-geleng kepala melihat tampilanku saat pulang mudik. Memanggul tas ransel dan menenteng kardus berisi sekedar buah tangan.

Kembali ke rantau pun demikian, dengan kardus yang lebih besar karena emak pasti membawakan aneka jenis keripik dan jajanan kampung untuk aku bawa ke kota. Kardus yang kata bapak harus diikat dengan kuat menggunakan tali rafia agar isinya tak berhamburan di jalan.

Sesederhana itulah tampilanku. Jauh dari kata "perlente" dan gaya khas kota besar. Tak ada pula terucap kata "lu-gue" ketika berbincang hangat dengan sanak saudara.

Namun, entah kapan aku bisa merasakan decak kagum dari dirimu ketika aku pulang kampung. Ada yang bilang, kalau pulang ke kampung halaman seharusnya membawa mobil mewah beserta cerita sukses dan jabatan tinggi yang bisa dibanggakan.

Sedangkan aku?

Setidaknya aku masih merasa beruntung karena emak dan bapak tak pernah mengeluh ketika halaman rumahnya tak pernah terparkir kendaraan mewah berplat nomor luar kota saat lebaran. Beda dengan rumah-rumah tetangga yang terlihat bak showroom mobil karena anak-anaknya sudah jadi "orang".

Jujur saja, aku takut ketika makna pulang ke kampung halaman sebenarnya adalah tentang uang. Ada uang maka bisa mudik, tak ada uang artinya urung mudik.

Banyak orang di kota besar yang mengatakan padaku bahwa mereka gagal mudik tahun ini karena tak memiliki uang tabungan lebih. Walau tak sedikit pula yang memaksakan harus pulang mudik dengan mengiba pada pinjol yang teramat berisiko.

Ah, sebagai kampung halaman pastinya kamu juga teramat paham dan tak asing dengan cerita-cerita semacam itu.

Nyatanya...

Aku tak akan bohong. Soal uang memang menjadi salah satu alasanku dan orang-orang sepertiku yang merantau ke kota besar. Tapi, tak mudah pula untuk mendapatkannya meskipun berliter-liter peluh telah dikucurkan.

Hai, Kampung Halamanku yang bijak dan sabar.

Kini aku telah kembali ke rantau. Kembali bergerak cepat mengikuti irama kehidupan.

Aku tahu ada suara-suara yang menanyakan, kenapa harus merantau jauh? Jika soal uang, bukankah di kampung halaman ada pula lapangan pekerjaan?

Jika hidup di rantau serba keras, kenapa harus memaksakan diri merantau dan pulang kampung tiap lebaran dibalut keterpaksaan pula?

Memang benar, tapi logika kehidupan tak selamanya berjalan seperti itu. Ada kalanya hal yang kita rencanakan tidaklah mulus berjalan sesuai harapan.

Demikian pula soal jodoh, baik jodoh berupa pasangan hidup ataupun pekerjaan. Semuanya telah digariskan oleh Sang Maha Kuasa, dan pastinya tak bisa kita duga-duga serta dengan mudahnya mengumbar kalimat "seharusnya begini" atau "seharusnya tidak seperti itu".

Sehari berada di rantau setelah mudik, sudah terpikir olehku untuk bekerja lebih keras dan merencakanan lebih baik agar pulang kampung di tahun mendatang bisa lebih menyenangkan dan bisa lebih lama lagi untuk menuntaskan rindu.

Betis kakiku kembali mengeras, dan otakku kembali kupacu untuk berpikir lebih keras. Hidup di rantau memang keras, untuk itulah mengapa aku selalu merindu hangatnya kampung halaman sepertimu.

Dear Kampung Halaman, sekian surat dariku. Sampai bertemu di lain waktu.

Dari manusia perantau yang merasa belum jadi "orang".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun