Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kurang Gereget, Piala Dunia Tanpa Tabloid dan Majalah Olahraga

13 November 2022   18:09 Diperbarui: 14 November 2022   10:55 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: olah grafis Canva + sumber gambar dari bukalapak.com

Piala Dunia 2022 di Qatar tinggal menghitung hari. Tapi suasana masih adem ayem saja, seolah larut dalam hawa dingin akibat musim hujan belakangan ini.

"Kirain Piala Dunia masih tahun depan, udah nggak pernah nonton tivi soalnya, apalagi nggak kebagian STB gratis, tivi di rumah cuma jadi pajangan aja, haha.." ucap tukang sayur yang kerap mangkal di ujung kompleks rumah saya.

Baginya, Piala Dunia juga nggak penting-penting amat ditonton. Lebih penting cari uang baginya.

"Dari dulu kan yang juara itu-itu saja, kalau nggak Jerman ya Brasil atau Italy. Saya pegang Italy deh tahun ini biar seru.."

"Lho Bang, Italy enggak main Piala Dunia tahun ini!"

Itulah Piala Dunia 2022 menurut Abang Sayur. Mungkin mewakili pandangan masyarakat kebanyakan lainnya.

Gelaran Piala Dunia 2022 Qatar memang terasa berbeda. Beda era, beda tempat penyelenggara yang kali ini di jazirah Arab, dan tentu saja beda waktu yang biasanya tengah tahun setelah liga-liga domestik usai, kini justru digelar akhir tahun di kala liga-liga domestik masih berjalan seru-serunya.

Segala perbedaan itu membuat saja throwback ke beberapa tahun silam ketika ajang Piala Dunia seolah mampu menyedot animo dan fokus pembicaraan di mana-mana. 

Piala Dunia 1990 adalah awal saya mengikuti berita turnamen besar sepak bola. Era saat internet masih jadi barang mewah, maka segala informasi tentang Piala Dunia bersumber dari koran, tabloid, majalah hingga televisi dan radio.

Generasi 80'an dan 90'an penggemar sepak bola tentu mengenal tabloid BOLA, majalah BOLA Vaganza, Hai Soccer, TopSkor, Libero, dan lain-lain. Deretan tabloid dan majalah olahraga itulah yang selalu ditunggu dan selalu laris bak kacang goreng ketika terbit.

Belum lagi ditambah dari koran harian macam Kompas dan Jawa Pos yang biasanya menyediakan beberapa halaman khusus untuk berita Piala Dunia.

Jelang turnamen besar macam Piala Dunia hingga Euro, ada sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar. Itu lho, sisipan halaman tabloid atau majalah berupa poster yang berisi informasi jadwal pertandingan per grup, jam siaran langsung, stadion dan ada kolom kosong skor yang bisa diisi sendiri oleh pembaca dengan tulisan tangan.

Poster itu menggambarkan bagan alur dari mulai penyisihan grup, menuju babak gugur hingga semifinal dan partai puncak. Tim mana bakal ketemu tim mana, bisa tergambar dengan baik di poster itu. Prediksi juara pun bakal terbantu ketika kita memiliki poster jadwal tersebut.

Sumber: superwaw.com
Sumber: superwaw.com

Kalau sekarang? Ketika yang jual koran kian terbatas dan tabloid serta majalah-majalah tadi statusnya tinggal kenangan saja alias sudah almarhum, ternyata untuk mendapatkan poster semacam itu kita mesti beli melalui marketplace. Atau kalau mau hemat ya ngeprint sendiri. Haha, nggak asik ah.

Selain poster jadwal pertandingan dan skor, info grafis tentang deretan stadion dan kota penyelenggara juga menjadi sajian menarik untuk dibaca berulang-ulang. Seru aja membayangkan stadion-stadion keren dan kota-kota yang belum pernah disinggahi.

Euforia Piala Dunia kala itu bakal semakin mengena ketika ada salah satu atau beberapa orang jurnalis dari Indonesia yang ditugaskan secara khusus datang ke negara penyelenggara Piala Dunia itu. Pastinya seru ketika membaca laporan mereka dari sudut pandang yang berbeda. 

Budiarto Shambazy dari Kompas dan Sumohadi Marsis dari BOLA adalah dua nama yang masih lengket di ingatan soal liputan langsung ke ajang turnamen besar seperti Piala Dunia.

Kini, seiring pergeseran tren media dari cetak ke daring, kenangan-kenangan tentang euforia Piala Dunia menjadi semacam rindu yang tak terobati. Jadi susah rasanya mengenalkan sistem turnamen kepada anak-anak kecil sekarang, karena tidak ada alat bantu berupa poster jadwal dan skor yang mengasyikkan tadi.

Saya pun sampai sekarang masih blank dengan kota-kota dan nama-nama stadion yang bakal menjadi tuan rumah di Qatar nantinya. Padahal jika mengingat Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, setidaknya ada Stadion Rose Bowl di Pasadena dan Stadion Pontiac Silverdome di Michigan yang masih terngiang-ngiang hingga kini. Atau nama Stadion Sapporo Dome di Jepang yang masih teringat ketika Piala Dunia digelar di Korea-Jepang tahun 2002 silam.

Pada akhirnya memang Piala Dunia menjadi semacam bahan seru-seruan saat ngumpul. Meskipun orang tersebut sejatinya tidak pernah mengikuti perkembangan sepak bola, tapi jika Piala Dunia datang, mendadak memosisikan dirinya sebagai salah satu fans tim negara tertentu.

Momen-momen masa lalu saat demam Piala Dunia menerobos sekat-sekat pergaulan dan jadi bahan gosip paling meriah, menjadi momen tak tenilai yang mungkin sulit terulang di era modern saat ini. Kehadiran media cetak berupa tabloid dan majalah olahraga itu seolah menambah gereget keseruan Piala Dunia.

Sekarang? Ketika ajang nonton bareng bahkan semakin komersial dan ketika nonton pertandingan tak melulu butuh layar televisi, melainkan segenggam gadget di tangan. Nonton sepak bola menjadi kian senyap dan individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun