Kejadian pelecehan seksual di dalam KRL Commuter Line kembali ramai disorot. Belum lama ini seorang korban membagikan peristiwa yang dialaminya melalui Twitter dan menuai beragam tanggapan dari warganet.Â
Ia mengalami tindakan tidak menyenangkan tersebut ketika berada dalam situasi padat penumpang di dalam KRL. Tak hanya sekali, bahkan hingga dua kali ketika berdesakan hendak turun dari kereta, ia merasa ada seseorang yang melakukan sesuatu dengan mengambil momentum dari orang-orang yang berdesakan.Â
Walau pelaku kemudian diamankan petugas, tetapi korban tentu mengalami trauma dan ketakutan yang hebat.Â
Tidak jelas pula bagaimana tindak lanjut hukuman atau sanksi terhadap pelaku. Jika tidak ada tindakan hukum yang setimpal, maka bisa jadi pelaku-pelaku kejahatan serupa bakal tetap merajalela dan tidak menimbulkan efek jera.Â
Dalam kasus ini ketika korban berani speak-up dan menantang pelaku saat di lokasi, harus diakui bahwa tindakannya sangatlah hebat. Butuh mental dan nyali yang tinggi untuk berani memperkarakan seseorang di tempat umum.Â
Seringkali yang terjadi adalah ketidakberdayaan serta ketakutan ketika mendapati perlakuan tidak menyenangkan ketika berada di dalam transportasi umum. Hal ini bisa dipahami karena tidak mudah berada di posisi sebagai korban. Maka dari itulah diperlukan support dan perlindungan baik dari sesama penumpang maupun dari pihak pengelola transportasi itu sendiri.Â
Kejadian pelecehan di dalam KRL Commuter Line tidak sekali atau dua kali terjadi. Banyak yang sudah berani membagikan ceritanya, tapi banyak pula yang tidak.Â
Beberapa waktu lalu saya juga melihat bagaimana seorang penumpang perempuan terlihat ketakutan dan panik. Kepada penumpang di sekitarnya ia bercerita bahwa ia merasa seorang pria yang semula berdiri di dekatnya, telah melakukan perbuatan tidak sepantasnya. Sayangnya, belum sempat dipergoki banyak orang, orang tersebut telah lenyap menyelinap dan turun di stasiun sebelumnya.Â
Seiring kian padatnya penumpang KRL semenjak pandemi melonggar, maka kian besar pula potensi kejahatan yang terjadi. Bisa dikatakan bahwa tidak semua orang yang berdesakan saat jam sibuk itu waras atau baik semua, pasti ada oknum-oknum penumpang yang punya tujuan jahat, entah itu copet atau pelaku kejahatan seksual yang mencari korbannya.Â
Menanti antisipasi dari operator KRL
Sejauh ini PT KAI Commuter Indonesia (KCI) selaku operator KRL Commuter Line, telah memberikan imbauan melalui announcer di sepanjang perjalanan. Imbauan berisi peringatan agar penumpang waspada dan mengenali terhadap bentuk-bentuk aksi kejahatan pelecehan seksual dan melaporkan apabila melihat hal-hal yang dicurigai.
Hanya saja masih berulangnya kejadian semacam ini membuktikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa berhenti cukup melalui imbauan atau peringatan.
Pencegahan agar kasus semacam ini tidak berulang, seolah belum maksimal. Padahal sebenarnya ada hal-hal dasar yang bisa dilakukan oleh PT KCI guna meminimalisir adanya tindak kejahatan, apapun jenisnya.Â
Sudah saatnya PT KCI memikirkan pemasangan kamera pengawas di dalam KRL. Saat ini pada kereta atau gerbong KRL Commuter Line, nyaris tidak ada CCTV yang terpasang. Tidak seperti moda transportasi lainnya seperti MRT Jakarta, LRT hingga bus transjakarta.
Hal ini jelas merepotkan apabila terjadi tindak kejahatan yang minim saksi. Pelaku pun akan selalu mengelak karena merasa tidak ada bukti dan saksi.
Jumlah petugas keamanan di dalam kereta juga terbilang minim. Tidak setiap gerbong terdapat petugas keamanan yang berjaga. Selama ini berdasarkan pengamatan, petugas sering berpindah gerbong saat perjalanan.
Situasi ini membuat penumpang yang memerlukan pertolongan tidak bisa langsung mendapatkan respon petugas, karena mencarinya pun sulit. Jangankan saat ada kejahatan, saat ada penumpang pingsan pun yang cepat menolong adalah sesama penumpang di dekatnya. Petugas harus dicari dulu sebelum datang menolong.
Penambahan petugas menjadi minimal satu orang dalam satu gerbong menjadi salah satu solusi agar setidaknya membuat para pelaku kejahatan berpikir ulang sebelum melakukan aksinya. Risiko tertangkap tentu menjadi lebih besar.
Adanya kereta khusus wanita, yang saat ini tersedia dua kereta dalam satu rangkaian KRL, masing-masing di ujung depan dan paling belakang, sebenarnya memang untuk mengantisipasi terjadinya tindak kejahatan terhadap penumpang wanita.Â
Tetapi meskipun relatif aman dari kejahatan, justru di kemudian hari kereta khusus wanita mendapat stigma tersendiri sebagai gerbong yang egois karena yang masuk di dalamnya seolah ingin lebih diprioritaskan.
Itulah yang membuat sebagian penumpang wanita lainnya lebih memilih masuk ke dalam gerbong umum atau campur, dengan pertimbangan ada kemungkinan lebih untuk mendapatkan tempat duduk yang diberikan oleh penumpang pria.
Serba salah sih, tapi ini sebenarnya PR bagi PT KCI untuk bisa me-rebranding kereta khusus wanita menjadi gerbong yang lebih nyaman dan penumpang di dalamnya bisa saling menghargai.Â
Sebaiknya di dalam kereta khusus wanita ini memiliki interior yang berbeda dengan gerbong umum. Mungkin dari sisi warna di dalamnya, menyediakan fasilitas khusus, hingga bisa menggandeng sponsorship khusus audiens wanita. Jika berhasil rebranding dan dinilai semakin nyaman, maka bolehlah andai kereta khusus wanita ditambah satu gerbong lagi demi meminimalisir kejahatan yang menyasar penumpang wanita.
Kepedulian sesama penumpang
Soal risiko kejahatan seksual di dalam KRL, para penumpang juga sangat diharapkan berperan untuk saling melindungi sesama penumpang. Ada baiknya ketika berada di dalam KRL, penumpang tidak terlalu fokus dengan layar ponselnya di sepanjang perjalanan sehingga abai dengan situasi di sekitarnya.
Ketika menemukan gerak-gerik orang yang dicurigai, maka penumpang yang melihatnya setidaknya bisa memberikan peringatan kepada korban untuk pindah posisi. Bila perlu dan memiliki bukti yang cukup, ajaklah penumpang lain untuk menegur dan memperkarakan oknum tersebut.
Bagaimanapun potensi kejahatan seksual bakal selalu ada. Tetapi jika tidak ada upaya perbaikan dari sisi keamanan dan kepedulian, maka pelaku bakal merasa bebas untuk terus beraksi.
Sudah saatnya operator KRL mengubah strategi penanganan dan pencegahan terhadap aksi-aksi bejat di dalam KRL. Percuma juga mengejar pembangunan fisik berupa stasiun-stasiun megah demi target penumpang bertambah sekian juta. Jika pada akhirnya penumpang justru kian was-was dan merasa tidak nyaman dari kejahatan yang mengintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H