Hanya saja masih berulangnya kejadian semacam ini membuktikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa berhenti cukup melalui imbauan atau peringatan.
Pencegahan agar kasus semacam ini tidak berulang, seolah belum maksimal. Padahal sebenarnya ada hal-hal dasar yang bisa dilakukan oleh PT KCI guna meminimalisir adanya tindak kejahatan, apapun jenisnya.Â
Sudah saatnya PT KCI memikirkan pemasangan kamera pengawas di dalam KRL. Saat ini pada kereta atau gerbong KRL Commuter Line, nyaris tidak ada CCTV yang terpasang. Tidak seperti moda transportasi lainnya seperti MRT Jakarta, LRT hingga bus transjakarta.
Hal ini jelas merepotkan apabila terjadi tindak kejahatan yang minim saksi. Pelaku pun akan selalu mengelak karena merasa tidak ada bukti dan saksi.
Jumlah petugas keamanan di dalam kereta juga terbilang minim. Tidak setiap gerbong terdapat petugas keamanan yang berjaga. Selama ini berdasarkan pengamatan, petugas sering berpindah gerbong saat perjalanan.
Situasi ini membuat penumpang yang memerlukan pertolongan tidak bisa langsung mendapatkan respon petugas, karena mencarinya pun sulit. Jangankan saat ada kejahatan, saat ada penumpang pingsan pun yang cepat menolong adalah sesama penumpang di dekatnya. Petugas harus dicari dulu sebelum datang menolong.
Penambahan petugas menjadi minimal satu orang dalam satu gerbong menjadi salah satu solusi agar setidaknya membuat para pelaku kejahatan berpikir ulang sebelum melakukan aksinya. Risiko tertangkap tentu menjadi lebih besar.
Adanya kereta khusus wanita, yang saat ini tersedia dua kereta dalam satu rangkaian KRL, masing-masing di ujung depan dan paling belakang, sebenarnya memang untuk mengantisipasi terjadinya tindak kejahatan terhadap penumpang wanita.Â
Tetapi meskipun relatif aman dari kejahatan, justru di kemudian hari kereta khusus wanita mendapat stigma tersendiri sebagai gerbong yang egois karena yang masuk di dalamnya seolah ingin lebih diprioritaskan.