Bicara soal stasiun kereta api paling berkesan, saya harus akui bahwa Stasiun Balapan di Kota Solo, Jawa Tengah menjadi paling membekas dalam memori.
Stasiun Solo Balapan atau lebih dikenal dengan Stasiun Balapan, bahkan kondang berkat lagu legendaris milik almarhum Didi Kempot.
Ning Stasiun Balapan
Kuto Solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu
Bagi orang yang paham dengan lirik berbahasa Jawa itu, lagunya memang menyayat hati. Terlebih bagi yang memiliki banyak kenangan di tempat itu, seperti saya (ehem...).
Stasiun Balapan, sekitar tahun 2002 hingga 2006, menjadi saksi bisu ketika saya mengantarkan kepergian kekasih (ciee...)Â berangkat untuk balik ke Jakarta menggunakan Senja Utama. Setelah itu beberapa hari kemudian menjemput kedatangannya kembali di tempat yang sama.
Romantisme ala mahasiswa yang sama-sama merantau. Bedanya dia merantau dari Jakarta untuk kuliah di Solo, sedangkan saya merantau dari Temanggung, yang bisa ditempuh sekira 4 jam naik motor Astrea waktu itu.
Belajar menulis reportase di Stasiun Balapan
Selain kenangan yang bisa bikin "haha-hihi" sendiri, Stasiun Balapan menyimpan memori yang cukup berarti bagi saya. Di tempat itulah, sekitar 2005 silam, saya pertama kalinya belajar menulis dan reportase.
Waktu itu saya baru diterima magang sebagai reporter di sebuah surat kabar lokal di Kota Solo. Setelah seminggu dilatih teori dan cerita-cerita jurnalistik, saya pun untuk kali pertama ditantang untuk datang ke Stasiun Balapan jam sembilan malam.
"Kamu datang saja, masuk ke dalam, catat semua yang kamu lihat dan kamu temui," instruksi redaktur yang membimbing saya waktu itu masih teringat jelas.
Tapi instruksinya tidaklah terlalu jelas bagi saya. Ngapain coba malam-malam ke Stasiun Balapan? Bahkan seingat saya waktu itu keberangkatan dan kedatangan kereta di Stasiun Balapan jam segitu sepertinya jarang. Kata petugas, kalau mau nunggu kereta datang sekitar jam 11 malam.
Antara bingung dan tidak tahu hendak ngapain, untungnya saat itu orang luar masih bisa masuk ke area stasiun walaupun bukan penumpang. Tentu dengan catatan mampu menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan. Termasuk numpang buang air kecil di area dalam stasiun juga boleh-boleh saja kok.
Hampir sejam lamanya saya duduk di peron stasiun, mencatat suasana yang saat itu remang-remang di bangunan stasiun yang sangat tua. Saya nyaris nyerah, tidak tahu lagi mau ngapain. Lha, masak cuma nulis suasana gelap dan sepi doang?
Hingga akhirnya saya memutuskan menyusuri rel di ujung stasiun menuju rangkaian gerbong kereta barang yang sedari saya datang terlihat diam terparkir. Makin gelap pula di area tersebut, karena saat itu masih minim penerangan.
"Nyari apa Mas?"
Tiba-tiba suara dari balik kegelapan menyapa saya. Membuat terkejut dan terus terang saya sedikit merinding.
Hingga wajahnya terlihat oleh saya. Pemuda itu tersenyum. Mukanya pucat dan pakaiannya terlihat lusuh.
"Iseng aja Mas, lagi nyari angin," jawab saya sekenanya.
Sejurus kemudian justru kami duduk di pinggiran peron yang sepi dan ngobrol. Saya penasaran dari mana dan ngapain dia di situ? Petugas kereta kah? Atau siapa?
"Saya sudah sebulan kabur dari rumah Mas, dimarahi Bapak saya. Lalu saya ikut kereta barang ke Jakarta, balik lagi sampai Surabaya, begitu terus Mas," ceritanya.
"Untung nggak ada yang ngusir saya di kereta Mas, banyak orang baik ngasih makan saya," ujarnya.
Penuturannya saya catat, termasuk nama orang itu. Saya pun akhirnya jujur mengakui bahwa saya sedang magang jadi reporter. Dia tak keberatan, dan malah senang ada teman ngobrol.
Keesokan harinya saya setor hasil pengamatan saya di Stasiun Balapan kepada pembimbing saya. Ia membacanya dan lima menit berlalu ia memanggil saya.
"Kamu tahu nggak? Kamu punya cerita dan narasumber yang menarik. Kamu tinggal buang bagian kamu melas minta izin satpam buat masuk ke stasiun dan di bagian kamu bosan duduk di peron sendirian, kamu fokus ceritakan orang di kereta barang itu, setelah itu kasih saya lagi dan besok kamu baca tulisan kamu terbit di koran," ujar pak redaktur saat itu.
Ucapannya bikin saya melongo. Tidak percaya bahwa tulisan anak magang bisa diakui oleh redaktur dan bakal dimuat di koran. Sejak itu saya baru paham tentang cara kerja reportase di lapangan. Menunggu momen, mencari narasumber, menggali ceritanya dan tulis.
--
Penumpang gelap kereta eksekutif
Pada waktu yang berbeda, Stasiun Balapan juga pernah menjadi saksi betapa saya pernah berbuat konyol di kereta api.
Jadi, sewaktu kereta Prambanan Express (Pramex) jurusan Solo-Jogja masih beroperasi (kini sudah digantikan KRL Jogja-Solo), saya kerap menggunakannya jika ada urusan ke Jogja.
Sore itu, saya berada di Stasiun Tugu Jogja dengan tujuan pulang ke Solo setelah seharian ada jadwal kegiatan di Jogja. Saat kereta Pramex datang, penumpang menyerbu hingga memenuhi kereta.
Saya yang berdiri di dekat pintu merasa kegerahan dan Pramex tak kunjung berangkat karena jadwal keberangkatannya masih lima menit lagi. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke handphone saya, waktu itu masih SMS ya gaes, belum ada WA.
Gara-gara SMS yang agak bikin kening saya berkerut itu, saya pun mencoba mengetik balasan sembari turun lagi ke peron dari kereta. Maksud saya sih karena kegerahan juga. Masih ada waktu sebelum berangkat ini, batin saya.
Eh, lha kok. Lho... lho... tiba-tiba pintu kereta tertutup, dan pelan-pelan Pramex mulai berangkat. Saya masih ketinggalan di peron dan mencoba melambai ke arah kereta.
Orang-orang di dalam kereta juga melambai ke saya, sambil melongo awalnya, kemudian nyengir dan bahkan ada yang terlihat menertawakan saya. Penumpang konyol yang ketinggalan kereta gara-gara balas SMS.
Saya melihat jadwal Pramex selanjutnya, masih sejam lagi. Duh, nyesek banget deh. Meski tiket yang waktu itu masih 6.000 rupiah (kalau nggak salah ingat) tidaklah hangus untuk perjalanan di hari itu.
Saya duduk termangu beberapa menit di bangku peron, hingga sekitar lima belas menit kemudian datanglah kereta api Argo Dwipangga dari Jakarta dengan tujuan akhir Stasiun Solo Balapan.
Entah dari mana tiba-tiba terbersit ide untuk menyelinap ke dalam kereta eksekutif yang tengah menurunkan penumpang di Stasiun Tugu itu. Maka dengan berlagak sok cool, saya pun berhasil naik dan duduk dengan santainya di kursi empuk menuju Solo.
Kejadian memalukan saat ketinggalan Pramex itu membuat saya tertawa dalam hati, akhirnya saya merasa menang. Sejam perjalanan menuju Solo dengan kereta nyaman dengan AC yang sejuk.
Saat turun pun saya merasa diperlakukan bak pelancong dari Jakarta, bedanya saya nggak nenteng koper, haha.
"Om, becak Om.." sapa tukang becak.
"Taksi Mas," sapa sopir taksi.
Ini jelas beda jika saya turun dari Pramex. Nggak ada yang peduli, haha.
Karena berhasil naik kereta api eksekutif dengan ongkos cuma 6.000 rupiah, besoknya saya sengaja mengulangi perbuatan saya. Kali ini saya beli tiket Pramex dari Stasiun Tugu dan sengaja melewatkan keberangkatan Pramex sore itu.
Sesaat kemudian, ketika kereta api Argo Dwipangga datang dan menurunkan penumpang, saya kembali menyelinap masuk ke dalam.
Namun, kali ini rupanya hari sial saya. Sekira 10 menit kereta berjalan, petugas pun datang menghampiri dan menanyakan tiket saya.
Saya mencoba berdalih ketinggalan Pramex sembari menunjukkan tiketnya. Tetapi petugas justru mengancam saya untuk membayar dua kali lipat harga tiket Argo Dwipangga.
"Hah, Pak, please Pak, beneran saya ketinggalan Pramex dan karena buru-buru jadi naik ini. Saya nggak punya uang segitu Pak, adanya tinggal 25 ribu," ujar saya mencoba memelas.
"Ya, udah sini, nggak papa," lho... ternyata uang 25 ribu saya diambil juga.
Kali ini saya turun di Stasiun Balapan dengan muka memelas dan malu.
Terus terang kejadian itu memang membekas, kadang geli sendiri, tapi malu juga. Dasar kelakuan anak kos. Sangat tidak patut ditiru oleh siapapun.
--
Kini, Stasiun Solo Balapan telah jauh berbeda dengan keberadaan KRL Jogja-Solo dan juga kereta bandara. Saat libur lebaran kemarin, saya mencoba naik KRL dari Jogja ke Solo dan selanjutnya naik Argo Dwipangga untuk balik ke Jakarta (kali ini bayar lho...).
Stasiun Balapan telah banyak berubah. Penambahan frekuensi perjalanan serta fasilitas baru membuat wajah stasiun ini terlihat modern berpadu dengan sudut-sudut bangunan yang masih asli peninggalan zaman kolonial.
Demikian pula dengan PT KAI yang telah banyak berbenah. Sekarang mana bisa penumpang kereta lokal menyelinap ke dalam kereta eksekutif jarak jauh? Sistem pengaturan penumpang di tiap stasiun sudah sedemikian tertata saat ini.Â
Bagaimanapun, Stasiun Balapan menyimpan terlalu banyak memori dan perjalanan kereta yang saya mulai dan akhiri di stasiun ini. Untuk mencoba melupakannya, bagi saya begitu sulit tentunya.
Terima kasih Stasiun Solo Balapan.
Terima kasih PT KAI.
Dirgahayu 77 tahun KAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H