Waktu itu saya baru diterima magang sebagai reporter di sebuah surat kabar lokal di Kota Solo. Setelah seminggu dilatih teori dan cerita-cerita jurnalistik, saya pun untuk kali pertama ditantang untuk datang ke Stasiun Balapan jam sembilan malam.
"Kamu datang saja, masuk ke dalam, catat semua yang kamu lihat dan kamu temui," instruksi redaktur yang membimbing saya waktu itu masih teringat jelas.
Tapi instruksinya tidaklah terlalu jelas bagi saya. Ngapain coba malam-malam ke Stasiun Balapan? Bahkan seingat saya waktu itu keberangkatan dan kedatangan kereta di Stasiun Balapan jam segitu sepertinya jarang. Kata petugas, kalau mau nunggu kereta datang sekitar jam 11 malam.
Antara bingung dan tidak tahu hendak ngapain, untungnya saat itu orang luar masih bisa masuk ke area stasiun walaupun bukan penumpang. Tentu dengan catatan mampu menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan. Termasuk numpang buang air kecil di area dalam stasiun juga boleh-boleh saja kok.
Hampir sejam lamanya saya duduk di peron stasiun, mencatat suasana yang saat itu remang-remang di bangunan stasiun yang sangat tua. Saya nyaris nyerah, tidak tahu lagi mau ngapain. Lha, masak cuma nulis suasana gelap dan sepi doang?
Hingga akhirnya saya memutuskan menyusuri rel di ujung stasiun menuju rangkaian gerbong kereta barang yang sedari saya datang terlihat diam terparkir. Makin gelap pula di area tersebut, karena saat itu masih minim penerangan.
"Nyari apa Mas?"
Tiba-tiba suara dari balik kegelapan menyapa saya. Membuat terkejut dan terus terang saya sedikit merinding.
Hingga wajahnya terlihat oleh saya. Pemuda itu tersenyum. Mukanya pucat dan pakaiannya terlihat lusuh.
"Iseng aja Mas, lagi nyari angin," jawab saya sekenanya.
Sejurus kemudian justru kami duduk di pinggiran peron yang sepi dan ngobrol. Saya penasaran dari mana dan ngapain dia di situ? Petugas kereta kah? Atau siapa?