"Oh, boleh tentu saja, kapan?"
Nah, kalau dia balik nanya gitu jelas saya susah jawabnya. Saya merasa bisa punya hobi travelling, tapi kok duit di tabungan nggak bisa diajak kerja sama.
Walhasil, cuma mau pergi ke Puncak saja dari dulu cuma wacana. Terlebih saat baca berita kalau secangkir kopi sasetan dan jagung bakar di Puncak bisa dihargai sampai 100 ribu rupiah.
Lain hari saya merasa nggak perlu minta restu soal hobi kepada istri. Saya bertekad kembali menekuni hobi fotografi yang sempat padam gara-gara kamera DSLR jadul saya rusak karena jamuran.
Eh, giliran nongkrong di kawasan Sudirman untuk jeprat-jepret ala street fotografer, saya malah minder sendiri gara-gara cuma bawa smartphone berkamera. Sedangkan yang lain tampak keren-keren dengan kamera mahal beserta perlengkapannya.
"Jangan menyerah dong Beb, beli aja kamera yang bagus," ujar istri saya mencoba menenangkan saya.
Namun, sampai detik ini sejak lima tahun lalu dia meminta saya membeli kamera bagus agar saya serius menekuni hobi foto, ternyata barang impian itu tak kunjung terbeli juga. Nasib deh.
Berkali-kali gagal untuk memiliki hobi yang terlihat keren, membuat saya bingung sendiri kalau ditanya soal hobi. Saya punya banyak minat dan keinginan, istri pun merestui dan tidak berkeberatan, tapi masalah klasik soal pendanaan untuk kelancaran hobi sampai sekarang tidak bisa saya pecahkan.
Oke deh, kalau gitu cari hobi yang gratisan saja. Kan, tidak semua hobi harus mengeluarkan banyak uang.
"Say, besok aku ikutan futsal ya sama temen kantor?" ucap saya.
"Oke, silakan aja, tapi anaknya dibawa yaaa...." jawabnya.