Apapun alasannya, mengajak anak ke bioskop untuk menonton film yang tidak sesuai dengan usianya merupakan bentuk keegoisan orangtua. Fix, no debat!
Bagaimana tidak? Orangtua yang mengajak anaknya nonton film di bioskop, dan yang ditonton bukan berkategori segala umur (SU), sudah pasti seratus persen karena si orangtua yang butuh hiburan. Bukan si anak.
Terlebih jika film yang ditonton bergenre horor, "Pengabdi Setan" misalnya, dan yang diajak nonton adalah anak berusia balita. Hadeuh, orangtua macam apa pula ini?
Demi nafsu memenuhi hasrat hiburan, demi tidak ketinggalan film yang lagi tren. Padahal sengaja mengajak anak kecil menonton film dewasa bisa berdampak buruk bagi perkembangan si anak. Ia berpotensi melihat adegan orang dewasa, kekerasan, hingga fantasi buruk yang tidak baik bagi perkembangan mentalnya.
Keberadaan anak-anak kecil di bioskop juga sering dikeluhkan oleh penonton lainnya. Mengganggu karena polah tingkah anak-anak itu kadang tak terkendali. Ada yang nangis, menjerit, ngompol hingga mondar-mandir ke sana ke mari.
Alasan paling umum kenapa si orangtua mengajak anaknya adalah karena tidak ada yang bisa dititipkan untuk menjaga anak tersebut. Hmm...
---
Sebut saja namanya Mawar. Ibu muda itu semasa kuliah termasuk hobi nonton film di bioskop. Saking hobinya, ia bahkan gabung dengan Kine Club, sebuah organisasi kampus yang mengkhususkan diri pada sinematografi dan diskusi film. Bahkan sebagai pecinta film, Mawar pun mengambil skripsi tentang sebuah film.
Beberapa tahun setelah lulus kuliah, Mawar menikah dan memiliki anak. Sejak saat itu, ia sama sekali tidak pernah menyempatkan diri lagi menonton film di bioskop. Memiliki anak kecil dan kesibukan di rumah, membuatnya harus menepikan keinginan untuk nonton film di bioskop.
Bukannya tak ingin, tapi konsekuensinya adalah harus menitipkan anak ke orang lain, dan Mawar enggan merepotkan orang lain, termasuk orangtua sendiri. Ia pun enggan andai harus membawa anak kecil nonton film untuk orang dewasa.
Hingga anak-anaknya sudah bersekolah, barulah Mawar kembali ke bioskop. Bukan, bukan untuk nonton film bergenre cinta-cintaan, horor atau action. Tapi Mawar membawa anaknya untuk nonton film semodel "Koki-koki Cilik" hingga yang terakhir ditontonnya adalah "Toy Story 4" pada tahun 2019 silam. Tentu saja bersama anaknya tercinta dan ia memilihkan jenis film yang sesuai dengan kategori usia anaknya.
Bagi Mawar dan suaminya, fase berkeluarga sudah berbeda dengan saat masih belum menikah dulu. Butuh banyak pengorbanan, termasuk tentang kebutuhan terhadap hiburan.
Dulu boleh jadi mereka sangat harus ke bioskop demi nonton film yang sedang hype. Tapi kini, menunggu sebuah film tayang di layanan streaming setelah berbulan-bulan kemudian, sudah menjadi kepuasan tersendiri. Itupun nontonnya ketika anak-anak sudah terlelap dalam tidur.
---
Mawar mungkin berbeda dengan ibu-ibu lainnya. Bagi sebagian mereka, jiwa haus hiburan mungkin masih meronta-ronta dan harus dilampiaskan langsung di bioskop walaupun harus membawa si kecil yang masih suka merengek-rengek.
Peduli amat dengan penonton lainnya, yang penting puas bisa nonton film terbaru. Keren rasanya jika sudah nonton film yang sedang heboh dibicarakan. Padahal di mana letak kerennya? Keren dari Hongkong?
Sayangnya, fenomena orangtua ngajak anak kecil ke bioskop untuk nonton film yang tidak sesuai kategori umurnya seolah dibiarkan oleh pengelola bioskop. Beragam kategori seperti 13+, 17+, bahkan 21+ seolah tak berarti apapun sepanjang penonton tersebut membeli tiket.
Ini berbeda dengan botol air mineral, makanan ringan, hingga sebungkus Nasi Padang yang diselundupkan penonton di dalam tasnya. Jika ketahuan petugas, secara tegas petugas akan menyitanya karena aturannya jelas, makanan dan minuman hanya boleh dibeli di konter resmi bioskop yang harganya nggak masuk akal itu.
Pihak bioskop bisa dikatakan lebih mementingkan cuan dibandingkan kenyamanan penonton lainnya atau lebih jauh lagi, tentang perlindungan anak. Bioskop penuh penonton adalah target utama yang harus terpenuhi lebih dulu.
Budaya Sensor Mandiri yang diperkenalkan oleh Lembaga Sensor Film pun nyatanya tidak terdengar gaungnya sampai studio-studio bioskop. Gerakan itu hanya sayup-sayup terdengar dan seolah hanya menyasar pada pola tontonan melalui media baru, seperti layanan streaming film.
Belum pernah rasanya ada kampanye turun langsung di depan studio bioskop agar orangtua mengurungkan niatnya memasuki studio sambil membawa anak kecil ketika film yang akan ditontonnya tidak sesuai kategori. Lagi-lagi, seolah lebih bahaya jika sebotol air mineral yang dibeli di luar masuk ke dalam bioskop.
---
Kembali lagi ke peran orangtua. Rasa-rasanya tidak ada orangtua yang ingin perkembangan anak-anaknya terganggu, mentalnya terganggu, dan tabiatnya jadi permisif terhadap konten cinta-cintaan, mistis hingga kekerasan.
Namun, justru orangtua sendiri yang tanpa sadar mengarahkan anak-anaknya ke jurang menganga. Di luar penggunaan gadget tanpa kontrol, mengajak anak kecil nonton film untuk orang dewasa di bioskop jelas merupakan ulah orangtua menjerumuskan anak-anak.
Demi ego, atas nama tren, orangtua mengabaikan hak anak.
Ini sama halnya dengan kasus yang terjadi beberapa hari lalu. Pasangan suami istri berkendara sepeda motor dari Tegal ke Surabaya membawa anak bayinya berusia 6 bulan. Demi hasrat menonton pertandingan sepakbola.
Justru petaka yang dihadapi karena bayi tersebut meninggal akibat efek perjalanan jauh dengan sepeda motor. Rupanya ego orangtua untuk mendapatkan hiburan yang disukainya, sampai harus berujung duka karena tidak memperhitungkan efek bagi si anak.
Status sebagai orangtua mau tidak mau terdapat perbedaan tatkala belum menikah. Itu yang luput disadari oleh banyak orang.
Hobi boleh-boleh saja, menikmati hiburan boleh-boleh saja. Tapi sekali lagi, jika sudah ada anak yang menjadi tanggung jawab kita, maka bertanggungjawablah dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H