Hingga anak-anaknya sudah bersekolah, barulah Mawar kembali ke bioskop. Bukan, bukan untuk nonton film bergenre cinta-cintaan, horor atau action. Tapi Mawar membawa anaknya untuk nonton film semodel "Koki-koki Cilik" hingga yang terakhir ditontonnya adalah "Toy Story 4" pada tahun 2019 silam. Tentu saja bersama anaknya tercinta dan ia memilihkan jenis film yang sesuai dengan kategori usia anaknya.
Bagi Mawar dan suaminya, fase berkeluarga sudah berbeda dengan saat masih belum menikah dulu. Butuh banyak pengorbanan, termasuk tentang kebutuhan terhadap hiburan.
Dulu boleh jadi mereka sangat harus ke bioskop demi nonton film yang sedang hype. Tapi kini, menunggu sebuah film tayang di layanan streaming setelah berbulan-bulan kemudian, sudah menjadi kepuasan tersendiri. Itupun nontonnya ketika anak-anak sudah terlelap dalam tidur.
---
Mawar mungkin berbeda dengan ibu-ibu lainnya. Bagi sebagian mereka, jiwa haus hiburan mungkin masih meronta-ronta dan harus dilampiaskan langsung di bioskop walaupun harus membawa si kecil yang masih suka merengek-rengek.
Peduli amat dengan penonton lainnya, yang penting puas bisa nonton film terbaru. Keren rasanya jika sudah nonton film yang sedang heboh dibicarakan. Padahal di mana letak kerennya? Keren dari Hongkong?
Sayangnya, fenomena orangtua ngajak anak kecil ke bioskop untuk nonton film yang tidak sesuai kategori umurnya seolah dibiarkan oleh pengelola bioskop. Beragam kategori seperti 13+, 17+, bahkan 21+ seolah tak berarti apapun sepanjang penonton tersebut membeli tiket.
Ini berbeda dengan botol air mineral, makanan ringan, hingga sebungkus Nasi Padang yang diselundupkan penonton di dalam tasnya. Jika ketahuan petugas, secara tegas petugas akan menyitanya karena aturannya jelas, makanan dan minuman hanya boleh dibeli di konter resmi bioskop yang harganya nggak masuk akal itu.
Pihak bioskop bisa dikatakan lebih mementingkan cuan dibandingkan kenyamanan penonton lainnya atau lebih jauh lagi, tentang perlindungan anak. Bioskop penuh penonton adalah target utama yang harus terpenuhi lebih dulu.
Budaya Sensor Mandiri yang diperkenalkan oleh Lembaga Sensor Film pun nyatanya tidak terdengar gaungnya sampai studio-studio bioskop. Gerakan itu hanya sayup-sayup terdengar dan seolah hanya menyasar pada pola tontonan melalui media baru, seperti layanan streaming film.
Belum pernah rasanya ada kampanye turun langsung di depan studio bioskop agar orangtua mengurungkan niatnya memasuki studio sambil membawa anak kecil ketika film yang akan ditontonnya tidak sesuai kategori. Lagi-lagi, seolah lebih bahaya jika sebotol air mineral yang dibeli di luar masuk ke dalam bioskop.