Seolah terjadi gap komunikasi dan koordinasi antara petinggi perusahaan yang membuat kebijakan dengan level pelaksana di bawah. Saat pucuk pimpinan bilang "oke kita terima mitra penyandang disabilitas", ternyata pelaksana di bawah tidak siap dan masih tidak memahami prinsip kesetaraan dengan penyandang disabilitas.
Hak memperoleh pekerjaan bagi penyandang disabilitas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Berdasarkan undang-undang tersebut, penyandang disabilitas berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi.
Tetapi kenyataan di lapangan, masih harus diakui bahwa para penyandang disabilitas belum sepenuhnya mendapatkan hak yang setara saat mencoba mengakses pekerjaan. Secara umum, masyarakat masih gagal mengakomodasi penyandang disabilitas dan malah menambah hambatan mereka untuk berdaya secara ekonomi.
Walau demikian, bukan berarti kesempatan bagi penyandang disabilitas menjadi teramat minim. Seperti halnya penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang dilakukan sejak beberapa tahun belakangan. Pemerintah telah memberikan alokasi khusus bagi penyandang disabilitas untuk bersaing mendapatkan pekerjaan sebagai abdi negara. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjalankan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Namun, apakah dengan memberikan alokasi khusus bagi penyandang disabilitas berarti telah menggugurkan kewajiban pemerintah? Tentu seharusnya tidak.
Di sebuah lokasi penerimaan CPNS, saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri ketika seorang penyandang disabilitas menangis bahagia karena nilai tesnya di atas ambang batas yang ditentukan. Saat itu kemungkinan besar dirinya bakal dinyatakan diterima sebagai CPNS, tinggal menunggu pengumuman final.
Sementara tak jauh darinya, ada pemandangan kontras ketika dua orang penyandang disabilitas lainnya tampak berwajah sendu karena nilai yang diraihnya tidak sesuai harapan. Lalu bagaimana nasib mereka yang gagal?
Mereka tentunya telah berjuang sekuat tenaga, belajar demi ujian di depan mata. Kemudian datang ke tempat ujian dengan sebuah perjuangan yang tak mudah pula. Bisa jadi mereka datang dari luar daerah.
Ketika kemudian gagal, siapakah yang akan menumbuhkan harapan baru bagi mereka? Apakah akan menunggu kesempatan serupa tahun depan? Atau berusaha menjemput kesempatan lain?
Harus diakui bahwa kalangan disabilitas banyak yang memerlukan uluran tangan terlebih dahulu sebelum dapat berdiri sendiri serta memulai menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi dirinya. Maka ketika satu peluang gagal atau belum tercapai, idealnya ada alternatif lain yang sudah menunggu.
Membongkar stigma bagi disabilitas
Sayangnya selalu saja ada benturan dengan stigma, seperti halnya kasus viral pada saat rekrutmen ojek online di atas. Masih terdapat cara pandang yang berbahaya terhadap penyandang disabilitas karena mengasumsikan mereka sebagai kelompok yang lemah.