Namun, tak butuh jadi ahli bangunan untuk menilai bahwa keberadaan tiang-tiang tersebut justru mempersempit gerak kerumunan penumpang dan membahayakan keselematan. Bayangkan area dengan luas kurang dari 1 meter digunakan oleh lalu lalang penumpang sekaligus tempat menunggu kereta.
Belum lagi soal celah peron, yakni jarak antara lantai peron stasiun dengan lantai kereta ketika pintunya terbuka. Jarak celah peron ini terlihat tidak presisi dan ada area yang terlalu lebar sehingga berbahaya ketika ada penumpang yang melangkah.
Dalam hitungan detik, ketika KRL datang, penumpang yang menunggu di bibir peron harus berkonsentrasi pada arus penumpang yang keluar, sekaligus memperhatikan kakinya saat melangkah, serta mengantisipasi dorongan penumpang di belakangnya. Maka kejadian seperti kaki terjerumus ke bawah menjadi risiko paling buruk yang bakal dialami oleh penumpang.
Apakah harus menunggu korban selanjutnya sehingga Stasiun Manggarai pada akhirnya dievaluasi kembali secara menyeluruh?
Menyalahkan penumpang jelas tidak bijak. Penumpang, meskipun di rush hour, selalu berusaha memperhatikan keselamatan masing-masing, tetapi faktanya memang area peron sangat tidak ramah dan berbahaya.
Jadi, saat ada komentar pembelaan seperti imbauan agar pengguna KRL antre dengan tertib, mendahulukan penumpang keluar dari dalam KRL serta tak memaksa masuk jika KRL sudah padat, bisa dipastikan hal itu cuma basa-basi semata.
Kebijakan dari awal switch over seperti menghilangkan rute langsung Bogor-Angke yang sangat vital, termasuk menjadi penyebab kepadatan luar biasa penumpang di Stasiun Manggarai.
Okelah kalau desain bangunan sudah terlanjur tidak bisa diapa-apakan lagi, tetapi pola transit penumpang harus diatur sedemikian rupa, dan hal ini tentu berhubungan dengan pola penjadwalan KRL serta ketersediaan rute. Jangan sampai penumpang jadi korban lagi.