Perubahan rute KRL Commuterline akibat switch over sejak 28 Mei 2022 di Stasiun Manggarai masih menjadi bahasan pro dan kontra di kalangan pengguna KRL. Menumpuknya penumpang yang transit di Stasiun Manggarai, tak pelak menunjukkan bahwa PT KAI maupun PT KCI masih gagal mengatur perjalanan maupun mengendalikan kepadatan penumpang.
Bayangkan saja, rute penting Bogor-Angke yang melewati stasiun vital seperti Sudirman, Karet, dan Tanah Abang sekarang dihilangkan sehingga penumpang harus transit di Manggarai.
Rute Bekasi-Jakarta Kota dihilangkan, diganti rute Cikarang/Bekasi-Kampung Bandan yang melewati Sudirman, Karet, Tanah Abang tanpa harus transit di Manggarai.
Itulah biang kerok keluh kesah serta amburadulnya pola transit di Manggarai. Penumpang dari arah Bogor sejauh ini adalah yang terbanyak dibandingkan Bekasi. Memaksa penumpang dari arah Bogor/Depok untuk turun transit di Manggarai padahal mereka banyak bekerja di kawasan Sudirman-Tanah Abang adalah kebijakan gegabah yang dirasa banyak merugikan penumpang.
Ibaratnya, ketika Anda punya akses jalan dari rumah menuju pasar terdekat, tiba-tiba jalan tersebut ditutup dan Anda harus berjalan lebih jauh. Wajar jika Anda kecewa karena banyak waktu dan tenaga yang terbuang. Tidak mudah untuk mengubah sebuah kebiasaan.
Perubahan rute memang dikaitkan dengan pembangunan insfrastruktur Stasiun Manggarai yang akan dibangun menjadi stasiun sentral. Tetapi pola penanganan penumpang terasa tidak efektif karena justru lebih banyak merugikan banyak kepentingan saat ini.
Klaim perubahan budaya yang meragukan
"Perkembangan ini akan merubah budaya #RekanCommuters menjadi lebih baik. Dulunya saat berpindah peron di Stasiun Manggarai harus melewati jalur rel, sekarang #RekanCommuters dapat naik atau turun menggunakan tangga manual, eskalator atau lift ke peron tujuannya,"Â demikian klaim pihak PT KCI melalui akun twitter @CommuterLine.
Faktanya, saat ini memang transit perpindahan peron tak lagi menyeberang rel, tetapi harus berjubel naik turun tangga yang melelahkan. Dari sisi operator boleh saja klaim perubahan budaya menyeberang peron.Â
Namun dari sisi penumpang, sebenarnya yang berubah adalah penumpang yang semula transit jadi tidak transit, dan yang semula tidak transit jadi transit karena adanya perubahan rute. Lebih ekstrim lagi kalau boleh dibilang, bakal mengubah budaya orang yang tadinya tidak telat ngantor jadi makin was-was bakal telat ngantor.
Naik turun tangga untuk transit jelas melelahkan dan membutuhkan waktu ekstra, terutama di jam sibuk. Ini jelas menambah tingkat stres penumpang yang sebagian besar adalah pekerja atau karyawan. Pagi hari saat berangkat kerja harus menghadapi situasi yang tidak menguntungkan.
Saya sendiri sebagai pengguna KRL dari arah Bogor tujuan Sudirman, dua hari kemarin (Senin dan Selasa) sudah merasakan pola perjalanan yang berbeda. Saya memang sengaja berangkat lebih pagi dari jam berangkat biasanya. Tetapi karena harus transit di Manggarai, total waktu yang saya butuhkan untuk perjalanan hingga ke tempat kerja ternyata jadi molor 30-40 menit dari biasanya.
Ketika penumpang dari Bogor harus transit di Manggarai, ternyata KRL berikutnya yang akan membawa ke arah Sudirman/Tanah Abang belum tentu sudah tersedia. Jikalau tersedia, belum tentu penumpang bisa mudah masuk karena saking padatnya penumpang.
Bahkan Selasa, 31/5 lalu kejadiannya sungguh kacau. Ketika KRL dari Bekasi tiba di Manggarai, penumpang yang hendak naik seperti biasa menunggu di bibir peron guna memberikan kesempatan penumpang yang hendak turun. Tetapi saking banyaknya penumpang turun, maka ketika hendak naik pintu KRL sudah nyaris tertutup.
Keruan saja banyak orang yang mencoba menahan pintu tertutup itu. Sejurus kemudian banyak penumpang yang semula sabar menunggu akhirnya memaksakan diri naik dengan saling dorong.
Kejadian seperti itu apakah sebelumnya telah diperhitungkan oleh pembuat kebijakan? Penumpanglah yang menjadi korban karena harus gontok-gontokan dan adu fisik saat transit.
Desain peron Stasiun Manggarai yang mengkhawatirkan.
Sebagai stasiun transit terbesar, Stasiun Manggarai memang terlihat kian megah. Iya megah kalau sepi penumpang.
Masalahnya, di jam sibuk, arus penumpang sungguh-sungguh luar biasa dan harus berjalan di jalur peron yang penuh dengan tiang beton penyangga. Bahkan ada sisi peron yang harus dilalui penumpang dan lebarnya kira-kira tak lebih dari satu meter. Sangat berisiko dan mengkhawatirkan bagi keselamatan penumpang.
Petugas pun kerap mengarahkan penumpang untuk berjalan melaluinya. Tentu saja perlu ekstra hati-hati agar kaki tidak kejeblos jatuh ke bawah. Terlebih bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik. Tentu sangat tidak nyaman melaluinya.
Tidak mudah memang membuat penumpang terbiasa dengan pola transit di Stasiun Manggarai. Pihak operator mesti bisa memastikan tak ada perjalanan KRL yang terlambat sedikitpun karena bakal berdampak luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H