Sore itu lalu lintas di Jalan Baru Pemda Cibinong, Kabupaten Bogor, tampak kian ramai oleh kendaraan. Orang-orang tampaknya sengaja keluar rumah untuk ngabuburit. Seiring dengan penjaja takjil yang bermunculan dan menempati tempat-tempat strategis di pinggir jalan.
Untungnya, gerimis kecil dan mendung yang semula menyapa, urung berubah menjadi hujan. Cuaca sore itu pun terasa adem.
Seorang pria tua, dengan rambutnya yang telah memutih, terlihat duduk di pinggir jalan. Ada sesuatu yang menarik dari dirinya.
Ia terlihat menggerak-gerakkan tangannya, memutar-mutar sebuah benda yang melambai-lambai karena gerakannya. Rupanya bapak itu tengah memeragakan sebuah mainan tradisional di tangannya.
Mainan itu terbuat dari lidi yang panjang, dililit oleh kertas krep berwarna-warni, dan ketika digerak-gerakkan memutar maupun zig-zag akan menimbulkan efek gerakan yang indah.
Saya teringat dengan tongkat pita putar yang lazim digunakan oleh penari balet sebagai salah satu alat penunjang keindahan gerakan. Tetapi, mainan yang dipegang oleh Bapak tua tersebut jelaslah bukan buatan pabrik seperti yang digunakan para pebalet.
"Ini namanya warna-warni," ucapnya.
"Apa Pak?"
"Warna-warni," ujarnya polos.
Saya sedikit mengernyitkan dahi mendengar nama mainan tersebut. Tapi, ah sudahlah. Apalah arti sebuah nama. Walau tanpa nama pun, anak-anak pasti senang memainkannya.
"Tiga ribu saja," jawabnya ketika saya menanyakan harga.
Ia mengaku membuatnya sendiri. Memang terlihat sangat sederhana untuk membuatnya. Hanya perlu bahan lidi panjang dan kertas krep warna-warni yang disambung dengan lem.
"Saya biasanya jualan di sekolah-sekolahan Pak, ini mumpung puasa kalau sore kan ramai, jadi saya tiap sore jualan di sini," ceritanya.
Tak jauh dari Bapak tersebut berjualan, masih di ruas jalan yang sama, pada sore di bulan Ramadan, terlihat banyak orang-orang berpakaian lusuh duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka biasanya mengharap belas kasihan orang-orang yang lewat yang akan berbagi takjil maupun sedekah.
Namun, Bapak penjual mainan itu beda. Ia tetap berjualan mainan hasil produksinya sendiri, bukan semata mengharap belas kasihan.
Baginya, satu barang yang laku terjual, merupakan kebanggaan tersendiri. Walau harganya tak seberapa, tapi sesungguhnya ada kepuasan batin ketika mainan buatannya mampu membuat orang lain, terutama anak-anak bergembira ketika memainkannya.
Selain membeli sebuah mainan yang ia jual, saya juga memberikan sebuah bingkisan makanan untuk berbuka puasa. Ia menerimanya dengan senang hati.
"Buat buka puasa ya Pak," ujar saya.
"Alhamdulillah..." ucapnya lirih.
Matanya tampak menyiratkan kebahagiaan. Ia mengucap syukur atas rezeki di bulan Ramadan.
Dari Bapak tua penjual mainan itu saya belajar bagaimana nurani ini tergerak untuk membantu dan berbagi dengan orang yang sedang membutuhkan. Tiada artinya perut kita kenyang saat berbuka dengan berbagai jenis makanan, jika tak jauh dari tempat tinggal kita ada orang yang untuk membeli makan saja susah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H