"Tiga ribu saja," jawabnya ketika saya menanyakan harga.
Ia mengaku membuatnya sendiri. Memang terlihat sangat sederhana untuk membuatnya. Hanya perlu bahan lidi panjang dan kertas krep warna-warni yang disambung dengan lem.
"Saya biasanya jualan di sekolah-sekolahan Pak, ini mumpung puasa kalau sore kan ramai, jadi saya tiap sore jualan di sini," ceritanya.
Tak jauh dari Bapak tersebut berjualan, masih di ruas jalan yang sama, pada sore di bulan Ramadan, terlihat banyak orang-orang berpakaian lusuh duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka biasanya mengharap belas kasihan orang-orang yang lewat yang akan berbagi takjil maupun sedekah.
Namun, Bapak penjual mainan itu beda. Ia tetap berjualan mainan hasil produksinya sendiri, bukan semata mengharap belas kasihan.
Baginya, satu barang yang laku terjual, merupakan kebanggaan tersendiri. Walau harganya tak seberapa, tapi sesungguhnya ada kepuasan batin ketika mainan buatannya mampu membuat orang lain, terutama anak-anak bergembira ketika memainkannya.
Selain membeli sebuah mainan yang ia jual, saya juga memberikan sebuah bingkisan makanan untuk berbuka puasa. Ia menerimanya dengan senang hati.
"Buat buka puasa ya Pak," ujar saya.
"Alhamdulillah..." ucapnya lirih.
Matanya tampak menyiratkan kebahagiaan. Ia mengucap syukur atas rezeki di bulan Ramadan.
Dari Bapak tua penjual mainan itu saya belajar bagaimana nurani ini tergerak untuk membantu dan berbagi dengan orang yang sedang membutuhkan. Tiada artinya perut kita kenyang saat berbuka dengan berbagai jenis makanan, jika tak jauh dari tempat tinggal kita ada orang yang untuk membeli makan saja susah.