Atasannya tidak secara gamblang menyuruhnya masuk WFO atau boleh WFH, tapi hanya menekankan pentingnya pekerjaan selesai bagaimanapun caranya.
"Ibarat gue disuruh mindahin mobil dari Bekasi ke Bogor, kan harus disopirin ya? Ya sopirnya itu gue, berarti nggak bisa dong pakai cara WFH? Nggak mungkin juga gue nyuruh orang dorong tuh mobil biar sampai Bogor," ucap rekan itu.
Kesimpulannya, tidak semua pekerja kantoran bisa WFH, dan di antara mereka tiap hari masih mengandalkan naik KRL.
Belum lagi pekerja sektor informal yang jika tidak berangkat maka tak ada penghasilan. Kalangan ini masih mewarnai profil penumpang KRL Jabodetabek di jam sibuk.
Penerapan Protokol Kesehatan di KRL
Siapapun sebenarnya bisa melihat sendiri, bahwa KRL Commuterline Jabodetabek adalah tempatnya orang berkerumun. Mau dikasih jarak seperti apapun, pola antrean sedemikian rupa, tetap saja jika kita bicara jam sibuk pagi dan sore, hingga malam, bakal terjadi kerumunan yang sebenarnya sangat beresiko terhadap penyebaran Covid-19.
Terlebih penerapan protokol kesehatan di tiap stasiun maupun di dalam KRL lebih bersifat "semoga tidak terjadi apa-apa".Â
Seolah hanya mengandalkan harapan agar langkah-langkah yang diterapkan, tidak menimbulkan penularan virus.
Padahal kenyataannya, protokol kesehatan di KRL terbilang lemah dan kurang bisa diandalkan. Jika tidak karena faktor terpaksa, mungkin orang juga enggan naik KRL.
Tengoklah cara memindai suhu tubuh di Stasiun Sudirman, petugas hanya seolah menggerakan alat thermo gun. Entah dipindai benar apa enggak, sepertinya meragukan.