Perjumpaan dengan kawan lama selalu saja memunculkan hal tak terduga. Termasuk jika bicara perubahan fisik.
Ketika suatu hari saya bertemu lagi dengannya, saya bahkan enggan menanyakan kenapa ia terlihat lebih "berisi". Nggak sopan kata orang-orang. Body shaming kalau kata netizen.
Namun, justru kawan itu dengan "hahahehe" langsung membahas soal berat badan. Ia dengan jujur mengatakan bahwa body-nya memang mengalami kenaikan berat yang cukup drastis.
"Beratku ini naik banyak banget lho. Ya mau gimana lagi, sekarang aku tinggal di mes di lingkungan kantor, nggak ke mana-mana juga, seharian lebih banyak duduk kerja," ucapnya.
Speechless sih kalau ada orang curhat perkara berat badan. Senyumin aja, tapi sambil instropeksi diri juga.
Saya juga enggak bisa dibilang kurus, masih bolehlah dibilang proporsional, dan masih gitu-gitu aja dari sekian tahun lalu.
"Soalnya aku kan tiap hari naik umum ke kantor," jawab saya, menanggapi penilaian kawan saya yang mengatakan tampilan saya tak banyak berubah.
Jawaban itu spontan saja sebenarnya, tapi sepertinya ada benarnya juga. Meskipun saya tidak rutin berolahraga, bahkan lebih sering tidak daripada iya, tapi rutinitas saya menggunakan transportasi umum setidaknya membuat saya banyak bergerak dengan kaki.
Dulu sebelum pandemi saya rutin pergi pulang kerja naik KRL Commuterline.Â
Gegara pandemi, saya sempat beralih naik bus transjabodetabek premium yang lebih nyaman dan bisa duduk. Tapi setelah disuntik vaksin dua kali, kini saya berangkat kerja naik bus, pulangnya naik KRL Commuterline.
Untuk mengakses dua jenis moda itu, saya juga menggunakan MRT Jakarta, dan juga ojek.
Jadi begini rinciannya.
Berangkat dari rumah pagi buta naik ojek menuju pangkalan bus transjabodetabek premium. Kurang lebih setelah dua jam perjalanan, saya turun dari bus dan berjalan kaki ke salah satu Stasiun MRT Jakarta yang ada Jalan Sudirman.
Mungkin ada sekitar 15-an menit saya mengayunkan kaki, naik turun tangga di area stasiun MRT, untuk kemudian bisa naik moda MRT Jakarta.Â
Setelah sampai tujuan di stasiun yang terdekat dari kantor saya, saya masih harus menuruni tangga di area stasiun dan berjalan kaki lagi beberapa menit ke area kantor saya.
Pulangnya, di sore atau malam hari jika lembur, saya kembali naik turun tangga di stasiun MRT untuk menuju Stasiun MRT Dukuh Atas.
Sama dengan stasiun lain, Stasiun MRT Dukuh Atas juga didesain terdiri dari tiga lantai yang bisa diakses melalui lift, eskalator, maupun tangga biasa yang super tinggi sekali.
Saya seringnya memakai eskalator, tetapi lebih banyak tidak berdiam berdiri, melainkan sambil berjalan jika menggunakan sisi kanan eskalator.Â
Untuk bisa keluar area Stasiun MRT Dukuh Atas, penumpang harus dua kali melewati tangga atau eskalator. Lumayan pegal juga jika tak terbiasa.
Nah, begitu keluar area Stasiun MRT Dukuh Atas, untuk beralih ke moda KRL Commuterline saya harus berjalan kaki sekitar 300 meter ke area Stasiun KRL Sudirman.
Di area Stasiun Sudirman ini penumpang juga masih harus naik eskalator dan kemudian turun lagi agar sampai di peron yang dituju, terutama untuk tujuan Bogor.
Saat kereta datang, maka dimulailah tahapan berdiri sepanjang perjalanan kurang lebih 1 jam. Maklumlah transportasi massal, lebih banyak kemungkinan berdiri daripada dapat tempat duduk.
Pada masa PPKM saat ini, situasinya masih lebih baik, masih ada jarak antar penumpang yang duduk dan berdiri. Sedangkan dulu sebelum pandemi penumpang KRL tidak dibatasi dan hampir pasti berjejalan dan saling dorong di dalam kereta. Benar-benar adu fisik.
Turun dari KRL di stasiun tujuan, saya juga masih harus berjalan kaki keluar area stasiun untuk mencari ojek menuju rumah.
Itulah kira-kira gambaran keseharian saya menggunakan transportasi umum. Pada awalnya memang sangat melelahkan, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka lelah adalah sesuatu yang harus kita rangkul.
Mungkin energi yang tersalurkan dari kebiasaan menggunakan berbagai moda transportasi umum inilah yang membuat berat badan saya relatif stabil. Kaki saya selalu bergerak, mengimbangi durasi duduk yang banyak dihabiskan pada saat bekerja.
Menggunakan transportasi umum untuk pergi dan pulang kerja mungkin merepotkan bagi sebagian orang. Tidak bisa bebas mampir-mampir, kata mereka.
Tapi bagi saya, justru senang jika memang tidak bisa mampir-mampir. Seperti misalnya mampir ke mal, ke restoran, nongkrong di kafe, atau sekedar menyambangi warung mie ayam.
Karena pola penggunaan transportasi saya sudah terukur dan terbatas waktu, maka saya harus lupakan kegiatan mampir-mampir seperti itu.
Lagipula, naik transportasi umum juga tidak diperbolehkan ngemil atau makan dan minum.
Imbasnya? Ya lumayanlah saya jadi tidak tergiur untuk jajan macam-macam. Lebih hemat dan tentu saja tidak ada makanan ekstra yang enak-enak masuk ke dalam tubuh. Efeknya, berat badan ya tetap segini-gini saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H