Di area Stasiun Sudirman ini penumpang juga masih harus naik eskalator dan kemudian turun lagi agar sampai di peron yang dituju, terutama untuk tujuan Bogor.
Saat kereta datang, maka dimulailah tahapan berdiri sepanjang perjalanan kurang lebih 1 jam. Maklumlah transportasi massal, lebih banyak kemungkinan berdiri daripada dapat tempat duduk.
Pada masa PPKM saat ini, situasinya masih lebih baik, masih ada jarak antar penumpang yang duduk dan berdiri. Sedangkan dulu sebelum pandemi penumpang KRL tidak dibatasi dan hampir pasti berjejalan dan saling dorong di dalam kereta. Benar-benar adu fisik.
Turun dari KRL di stasiun tujuan, saya juga masih harus berjalan kaki keluar area stasiun untuk mencari ojek menuju rumah.
Itulah kira-kira gambaran keseharian saya menggunakan transportasi umum. Pada awalnya memang sangat melelahkan, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka lelah adalah sesuatu yang harus kita rangkul.
Mungkin energi yang tersalurkan dari kebiasaan menggunakan berbagai moda transportasi umum inilah yang membuat berat badan saya relatif stabil. Kaki saya selalu bergerak, mengimbangi durasi duduk yang banyak dihabiskan pada saat bekerja.
Menggunakan transportasi umum untuk pergi dan pulang kerja mungkin merepotkan bagi sebagian orang. Tidak bisa bebas mampir-mampir, kata mereka.
Tapi bagi saya, justru senang jika memang tidak bisa mampir-mampir. Seperti misalnya mampir ke mal, ke restoran, nongkrong di kafe, atau sekedar menyambangi warung mie ayam.
Karena pola penggunaan transportasi saya sudah terukur dan terbatas waktu, maka saya harus lupakan kegiatan mampir-mampir seperti itu.
Lagipula, naik transportasi umum juga tidak diperbolehkan ngemil atau makan dan minum.