Belakangan ini marak jasa percetakan sertifikat atau kartu vaksin. Dari sisi kebebasan berusaha memang patut diapresiasi. Sudah pasti peluang usaha ini menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat. Sah-sah saja.
Terlebih, saat ini muncul aturan yang mewajibkan orang-orang untuk membawa dan menunjukkan sertifikat vaksin untuk beberapa keperluan. Misalnya masuk ke mal, makan di rumah makan, naik transjakarta dan sebagainya.
Namun, saya sendiri dari sisi user atau pengguna sertifikat vaksin, mencetak sertifikat vaksin menjadi hard copy atau kartu sebenarnya tidak penting-penting amat, bahkan tidak perlu.
Ada berbagai alasan menyertainya, antara lain:
1. Sudah menuju era digital tapi kebiasaan manual
Inilah susahnya membangun kebiasaan digital. Barangnya sudah digital tapi kalau belum dimanualkan rasanya belum puas. Sama halnya kebiasaan menggunakan foto kopi e-KTP untuk berbagai keperluan.
Jika kebiasaan ini terus dipelihara, maka wajar jika nantinya segala sesuatu yang berwujud digital justru mengalami kontroversi dan terus dimanualkan. Hal ini sudah terasa ketika pemerintah menuai pro dan kontra misalnya ketika menerbitkan sertifikat tanah elektronik atau kartu nikah digital.
Padahal sebenarnya ada sistem digital yang cukup berhasil, seperti penggunaan tiket pesawat elektronik. Dulu sebelum marak aplikasi pemesanan tiket pesawat, calon penumpang masih harus bawa tiket kertas dan menunjukkannya kepada petugas di bandara.
Beberapa tahun belakangan, semakin sedikit calon penumpang pesawat yang terlihat menunjukkan tiket kertas. Kebanyakan mereka menyorongkan layar smartphone masing-masing untuk menunjukkan tiketnya.
2. Rawan pencurian data pribadi
Data pribadi di sertifikat vaksin terpampang dengan sangat jelas, yakni nama, tanggal lahir, dan nomor induk kependudukan. Belum lagi ada QR code yang tidak menutup kemungkinan bisa disalahgunakan jika berada di tangan yang salah.
Mencetak di jasa pihak ketiga yang mengklaim data konsumen bakal aman dan filenya langsung dihapus, tidak serta merta dapat dipercaya 100 persen. Kebocoran data pribadi ada berbagai macam cara dan jalannya.
3. Harusnya lebih takut kartu vaksin hilang daripada HP hilang
Alasan yang kerap dikemukakan oleh yang pro dengan pencetakan sertifikat vaksin adalah tidak ingin repot saat kejadian HP-nya hilang.
Well, kalau saya sih HP alias smartphone justru saya waspadai terus agar posisinya selalu aman dan tidak pernah jauh dari saya. Sedangkan kartu?Â
Duh, selama ini justru saya beberapa kali kehilangan kartu yang sering saya gunakan sehari-hari, misalnya kartu multitrip untuk naik KRL Commuterline, serta kartu tiket MRT Jakarta yang sudah berganti setidaknya tiga kali dalam setahun ini karena hilang entah ke mana.
Kalau kartu sudah hilang, bukankah rentan juga terhadap pencurian data?
4. Takut HP habis batere saat jalan-jalan? Ah, jangan mengada-ada
Saat ini, peraturan menunjukkan kartu vaksin memang untuk keperluan yang masuk kategori "jalan-jalan". Nah, kalau ada orang takut kehabisan batere HP saat hendak jalan ke mal, ya sudah nggak usah ke mal. Gitu aja kok repot.
Intinya aturan ini dibuat masih dalam rangka membatasi pergerakan masyarakat dalam situasi pandemi Covid-19. So, namanya lagi pandemi semestinya bisa dong menahan nafsu jalan-jalan ke mal. Mestinya juga sanggup dong membatasi diri untuk tidak makan di restoran atau nongkrong di kafe?
Lagipula, jika mengalami kejadian habis batere HP ketika berada di stasiun atau bandara, kita dapat dengan mudah menggunakan fasilitas pengisian daya yang biasanya tersedia gratis. Kalau masih nggak ada juga, ya tinggal pinjam orang atau teman kan gampang.
Kalau masih nggak bisa lagi? Ya tidur aja di rumah, lebih aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H