Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

''The East" Membuka Kembali Ruang Diskusi Tentang Pembantaian Westerling

8 Agustus 2021   13:05 Diperbarui: 8 Agustus 2021   13:31 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentara sukarelawan Belanda, Johan de Vries (foto: tangkapan layar official trailer IMDB.com)

Mata saya masih terlihat merah saat menulis artikel ini. Gegara semalam begadang menonton "The East" melalui Mola TV, film besutan sutradara Jim Taihuttu, warga Belanda keturunan Maluku.

Judul asli film kontroversial produksi tahun 2020 ini adalah "De Oost" yang tayang perdana beberapa waktu lalu melalui Amazon Prime Video.

Film ini berlatar tahun 1946 ketika pasukan Belanda kembali datang ke Indie atau Hindia, atau Indonesia yang saat itu sedang merangkak sebagai negara yang baru merdeka.

Raymond Westerling (diperankan oleh Marwan Kenzari) adalah sosok antagonis di film ini. Dalam sejarah nyata, anak-anak negeri ini melalui pelajaran di bangku sekolah selalu mengingat nama Westerling sebagai pemimpin pasukan Belanda yang bengis dan terkenal dengan peristiwa pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan dan memimpin percobaan kudeta melalui bendera Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di daerah Jawa Barat.

"The East" mencoba bertutur melalui tokoh bernama Johan de Vries (diperankan oleh Martijn Lakemeier), seorang prajurit muda sukarelawan yang semula ditempatkan di kamp wilayah Semarang. Pertemuan Johan dengan "Si Turki" atau "De Turk", julukan Raymond Westerling karena lahir di Istanbul, Turki, menjadi sajian drama utama yang mewarnai film ini.

Johan muda semula tak mengerti mengapa ia bisa sampai di Hindia. Seperti halnya tentara Belanda lainnya, ia memiliki pemahaman bahwa kehadiran pasukan Belanda adalah untuk menjaga perdamaian dan menegakkan kebenaran.

Namun perlahan, yang terbaca kemudian adalah betapa tentara Belanda itu terjebak konflik batin. Ada satu adegan ketika seorang tentara Belanda justru marah dan melempari gambar Ratu Belanda yang dianggapnya hidup enak-enakan di istana sementara tentara seperti dirinya mempertaruhkan nyawa untuk tujuan yang tidak jelas.

Johan juga digambarkan kemudian berkembang menjadi sosok yang berani membunuh lawan demi bakti pada perintah komando atasannya. Walau di sisi lainnya, ia masih memiliki prinsip mengedepankan keadilan.

Sebuah gejolak batin yang terasa riil dalam situasi perang. Tapi sebagai layaknya pion, ia hanya bisa bergerak maju dan dikorbankan.

"The East" memang tak memperlihatkan bagaimana perang berlangsung dari sisi pejuang gerilya yang berusaha mempertahankan kemerdekaan. Bahkan pejuang di sini disebut sebagai "teroris" oleh tentara Belanda.

"Si Turki" itulah yang kemudian memimpin pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) untuk melalukan pembantaian di desa-desa di Sulawesi Selatan. Hanya berbekal daftar nama di bukunya, Westerling memanggil nama-nama pria yang belum terbukti bersalah itu dan mengeksekusinya di depan anak-anak dan para perempuan.

Desingan peluru yang menembus kepala dan mayat-mayat yang berjatuhan berlumuran darah, menggambarkan betapa kejinya pembantaian Westerling.

Bahkan walau menonton dari layar smartphone, saya berusaha memalingkan mata ketika adegan eksekusi brutal dipertontonkan tanpa sensor.

Marwan Kenzari sebagai Raymond Westerling (foto: tangkapan layar official trailer IMDB.com)
Marwan Kenzari sebagai Raymond Westerling (foto: tangkapan layar official trailer IMDB.com)

Sejarah kelam yang berusaha ditampilkan "The East" ini memang layak menuai kontorversi. Baik dari sudut pandang orang Belanda, maupun sudut pandang kita sebagai anak negeri.

"The East" oleh pembuat filmnya dibilang sebagai fiksi, tetapi fiksi yang kadar fiktifnya diklaim sedikit.

Pujian sekaligus kritikan sudah pasti diterima oleh film ini. Termasuk penolakan dan tuntutan dari pihak keturunan Westerling di Belanda yang merasa ada pemutarbalikan fakta sejarah.

Westerling sendiri telah dicap sebagai penjahat perang, tetapi faktanya tidak pernah diadili hingga kematiannya di tahun 1987.

Sebagai tontonan, "The East" terasa memantik banyak pertanyaan tentang sejarah perang kemerdekaan. Dulu sewaktu sekolah, pelajaran tentang pembantaian Westerling tidak terlau terbayangkan dengan jelas. Tapi kini bagi saya, justru muncul gambaran visual di kepala saya dan kesimpulan bahwa Westerling dan pasukannya sebenarnya telah berbuat jauh lebih kejam dari apa yang digambarkan melalui film ini.

Ya, memang sah-sah saja bagaimana penonton mengambil kesimpulan dari film ini. Ada pijakan sejarah kelam yang terbuka bagi ruang-ruang diskusi lagi.

Namun perlu diketahui, meskipun film bernuansa sejarah, ada baiknya para orang tua yang hendak mengajak anak-anaknya nonton bisa berhati-hati lagi mengingat dengan rating 18+ film ini memuat dialog dan adegan seksual serta kekerasan yang brutal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun