"Si Turki" itulah yang kemudian memimpin pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) untuk melalukan pembantaian di desa-desa di Sulawesi Selatan. Hanya berbekal daftar nama di bukunya, Westerling memanggil nama-nama pria yang belum terbukti bersalah itu dan mengeksekusinya di depan anak-anak dan para perempuan.
Desingan peluru yang menembus kepala dan mayat-mayat yang berjatuhan berlumuran darah, menggambarkan betapa kejinya pembantaian Westerling.
Bahkan walau menonton dari layar smartphone, saya berusaha memalingkan mata ketika adegan eksekusi brutal dipertontonkan tanpa sensor.
Sejarah kelam yang berusaha ditampilkan "The East" ini memang layak menuai kontorversi. Baik dari sudut pandang orang Belanda, maupun sudut pandang kita sebagai anak negeri.
"The East" oleh pembuat filmnya dibilang sebagai fiksi, tetapi fiksi yang kadar fiktifnya diklaim sedikit.
Pujian sekaligus kritikan sudah pasti diterima oleh film ini. Termasuk penolakan dan tuntutan dari pihak keturunan Westerling di Belanda yang merasa ada pemutarbalikan fakta sejarah.
Westerling sendiri telah dicap sebagai penjahat perang, tetapi faktanya tidak pernah diadili hingga kematiannya di tahun 1987.
Sebagai tontonan, "The East" terasa memantik banyak pertanyaan tentang sejarah perang kemerdekaan. Dulu sewaktu sekolah, pelajaran tentang pembantaian Westerling tidak terlau terbayangkan dengan jelas. Tapi kini bagi saya, justru muncul gambaran visual di kepala saya dan kesimpulan bahwa Westerling dan pasukannya sebenarnya telah berbuat jauh lebih kejam dari apa yang digambarkan melalui film ini.
Ya, memang sah-sah saja bagaimana penonton mengambil kesimpulan dari film ini. Ada pijakan sejarah kelam yang terbuka bagi ruang-ruang diskusi lagi.
Namun perlu diketahui, meskipun film bernuansa sejarah, ada baiknya para orang tua yang hendak mengajak anak-anaknya nonton bisa berhati-hati lagi mengingat dengan rating 18+ film ini memuat dialog dan adegan seksual serta kekerasan yang brutal.