Suatu ketika ada debat netizen di kolom komentar mengenai kelakuan orang-orang yang suka berlama-lama di depan mesin ATM.Â
Seorang netizen menulis komentarnya yang rupanya cukup "mak jleb" karena seolah saya ikut tersindir.
"Suka sebel kalau ada orang masih muda tapi transaksi di ATM-nya banyak banget dan lama, bikin yang antre bete, emangnya dia nggak punya mobile banking apa? Padahal smartphone-nya aja iPhone," tulisnya.
Bukan, bukan di bagian "iPhone" yang bikin saya tersindir, lha wong smartphone saya cuma Android biasa saja yang bikinan China dan udah lecet sana-sini kok.Â
Jelas yang diomongin dia bukan saya dong. Tapi di bagian "masih muda tapi transaksi di ATM-nya banyak banget" itulah yang bikin saya mikir, soalnya saya merasa masih muda. Eheem...
Kebiasaan bertransaksi banyak di ATM juga kerap saya lakukan, terutama di awal bulan. Bisa sampai lima struk keluar dari mesin ATM tiap kali saya datang. Bayar tagihan ini dan itu yang cukup menguras saldo dan air mata.
Dari yang semula sepi tanpa antrean, tahu-tahu saat saya menengok usai transaksi, sudah banyak orang yang mengantre di belakang saya.
Mungkin orang-orang yang selama ini antre di belakang saya mikirnya juga sama, yakni menganggap saya gaptek. Padahal enggak lho, saya kan udah sering belanja online, hehe.
Tapi gara-gara komentar netizen itu, dan dipicu wacana pemberlakuan tarif saat ngecek saldo di ATM Link beberapa waktu lalu (meski kini ditunda), saya pun kembali tergugah untuk menggunakan aplikasi mobile banking.
Selama ini alasan saya tidak menggunakan mobile banking adalah karena beberapa tahun lalu saat bertanya ke customer service, saya mendapat penjelasan bahwa saya tidak bisa menggunakannya karena di sistem tercatat ada dua rekening di bank yang sama atas nama saya.
Memang benar, dulu saya punya rekening di bank itu juga untuk keperluan pembayaran gaji saya di tempat kerja yang lama. Tapi saat pindah kerjaan, saya kembali dibuatkan lagi rekening baru di bank yang sama tersebut.