Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fanatisme Army BTS dari Kaca Mata Bapak-bapak

20 Juni 2021   19:47 Diperbarui: 20 Juni 2021   19:58 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BTS Meal (Sumber: Tribunnews/Instagram @mcdonaldsid)

Sebagian Army BTS kelak, yakinlah bakal dangdut pada waktunya nanti.

Saat ini mungkin bagi Army, sebutan fans fanatik grup band BTS, sedang menikmati kebanggaan terhadap idolnya itu. Salah satu pemicunya adalah kehebohan paket BTS Meal dari McDonalds yang menyita begitu banyak perhatian, pro maupun kontra.

Bagi orang lain yang bukan Army, atau mereka yang kontra, mungkin kehebohan tersebut dianggap di luar nalar. Terlebih banyak Army yang mengaku tidak butuh makanannya yang konon rasanya biasa-biasa saja, tapi kemasan BTS Meal McD itulah yang diburu. Kemasan yang dianggap langka, suatu merchandise yang layak dikoleksi.

Maka wajar saja jika kemasan bekas BTS Meal bahkan dijual di marketplace dengan harga nggak kira-kira.

Sebagai bagian dari kaum bapak-bapak, saya sendiri masih lega bahwa anak-anak saya tidak ikut kehebohan tersebut. Mungkin belum terlalu ngerti karena masih SD dan TK. Entah kalau jenjang sekolahnya sudah lebih tinggi. Saya harus siap menghadapinya.

Era jadi fanatik

Menengok ke belakang, saya sendiri punya masa ketika mulai ngefans dengan artis atau grup band tertentu. Terlebih di masa SMA ketika era musik indie dan rock alternative mulai menggema. Seolah gagah rasanya ketika saya memiliki kaset-kaset dari jenis musik tersebut.

Saat itulah secara otomatis saya merasa alergi ketika mendengar musik dangdut. Nggak keren sama sekali dan tidak pernah menjadi bahan perbincangan saat nongkrong dengan teman-teman. Malu rasanya.

Grup band yang menjadi idola saya saat itu adalah Pas Band dan Netral. Selain kaset, tiap kali ada artikel atau poster mereka di majalah Hai, saya selalu menyimpannya.

Dulu belum ada internet seperti sekarang, tapi meskipun saya tinggal di daerah Temanggung, Jawa Tengah, saya masih bisa mendaftar jadi member fans club Pas Band. Sudah pasti infonya saya dapat dari majalah Hai.

Seingat saya dulu daftarnya pakai formulir yang dikirim dengan surat via Kantor Pos. Bayarnya masih numpang transfer ortu. Setelah itu beberapa minggu kemudian datanglah paket merchandise berupa kaos dan kartu member Pas Band fans club.

Keren banget rasanya. Itulah belanja online pertama saya. Masih di era 90an akhir, menjelang millennium baru.

Saya makin ngefans kepada mereka, sampai-sampai sempat naik panggung jejingkrakan saat konser mereka yang sempat chaos di Yogyakarta. Pencapaian "terbesar"saya kemudian adalah sempat berfoto bareng dengan Bambang a.k.a. Bengbeng, sang gitaris, yang berpose nyengir sambil terus main gitar saat saya merangkulnya.

Teman saya yang sudah bersiap dengan kamera poketnya langsung mengabadikannya. Itu kejadian di tengah konser lho ya, benar-benar gila. Setelah itu kami, para fans yang nekat naik panggung, diusir-usir oleh security.

Tapi apa daya setelah konser selesai, pengakuan teman saya benar-benar bikin kecewa.

"Duh sori banget, fotonya enggak jadi ternyata, klise-nya udah habis nggak nyadar gue," katanya.

Fyi, kamera poket jaman itu masih menggunakan klise foto negatif yang harus dicuci cetak kalau mau lihat hasilnya.

Usia mengubah segalanya

Sekarang, setelah menikah, punya anak dan mendapat label "bapak-bapak" apakah saya masih ngefans idola seperti itu lagi? Hmm, paling banter sih hanya sampai pada level senang saja, dan sudah pasti tak lagi seheboh dulu.

Saya bahkan sudah tidak tahu lagi ke mana barang-barang merchandise milik saya dulu berada. Saya belum sempat nanya emak saya lagi.

Namun seiring usia, saya tak lagi alergi dengan hal-hal di luar kegemaran saya dulu. Meski dulu ngakunya nggak suka dangdut, kini perlahan tapi pasti saya malah melatih cengkok-cengkok pita suara saya yang konon berada di jalur yang tepat untuk menjadi mirip suara Rhoma Irama.

Selain Rhoma Irama, saya juga hafal lagu-lagunya almarhum Didi Kempot.

Entah sejak kapan ini terjadi, tapi kok kalau ada acara yang ada nyanyi-nyanyinya, saya kerap diminta maju nyanyi dangdut. Saya sih mau-mau saja sambil berharap ada yang nyawer. Lumayan kalau dapat seratus ribu atau lima puluh ribu. Ehem.

Ya, makin berumur, ternyata saya makin terpapar dangdut. Saat gathering dengan rekan-rekan kantor, yang dinyanyikan dan bikin gayeng serta goyang pastinya lagu dangdut.

Saat kondangan di kampung-kampung, hiburannya juga dangdut. Inilah yang membuat fanatisme saya terhadap musik tertentu saat muda jadi luntur.

---

Nah, kini melihat anak-anak muda zaman sekarang sangat heboh mengidolakan artis atau grup band tertentu, saya masih memandangnya dengan wajar. Mungkin inilah era mereka. Saat di mana mereka tengah antusias dan merasa terinspirasi terhadap idola mereka.

Tapi mungkin kelak, dangdut adalah pilihan sebagian dari mereka. Army BTS mungkin harus menghadapi masa depan yang lebih bernuansa lokal lagi.

Sangat susah untuk tidak ikut goyang ketika teman-teman sekantor kamu sedang asyik digoyang dangdut. Mungkin pula sangat susah menolak permintaan Pak RT di kampung kamu yang mengusulkan pentas dangdut semalam suntuk saat pesta pernikahan kamu. Itulah realitanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun