Suatu sore di tengah bising dan padatnya Jakarta, alunan musik terdengar makin keras menyayat-nyayat keluar dari sound system yang ditarik dengan gerobak kecil. Hampir semua orang yang hidup di kerasnya ibu kota akan paham, bahwa musik itu pertanda datangnya ondel-ondel.
Benar saja, boneka ondel-ondel itu berjalan sambil goyang-goyang menyusuri pinggiran jalan raya. Dua orang rekannya, mengambil posisi berseberangan jalan. Sambil menenteng ember bekas cat, mereka bertugas meminta uang dari orang-orang yang mereka lalui.
"Bang! Kasihan Bang," ujar seorang anak pembawa ember mendekati saya.
Saya menggeleng, memberi tanda jika saya tidak memiliki uang untuk mereka. Namun bukannya segera pergi, anak kecil yang saya perkirakan berumur dua belasan tahun itu masih memaksa saya.
"Bang! Buat makan Bang!" ujarnya lagi.
Kali ini pun saya kembali menolak permintaannya dengan lebih tegas sambil memberi tanda dengan tangan. Baru setelah itu anak itu berlalu dan mendatangi orang lain. Dari kejauhan, gaya meminta-mintanya terlihat sama, sedikit memaksa orang.
Tak hanya sekali itu saya menemui pengamen ondel-ondel yang meminta uang dengan gaya memaksa, tapi beberapa kali. Makanya sekarang jika kira-kira bakal kedatangan ondel-ondel and the geng, mendingan saya menghindar terlebih dulu.
Keresahan masyarakat terhadap ondel-ondel di jalanan, memicu Pemprov DKI Jakarta untuk mengeluarkan kebijakan melarang ondel-ondel turun ke jalan untuk mengamen.Â
Selain itu, ondel-ondel yang berjalan di tengah keramaian lalu lintas juga berpotensi menimbulkan kemacetan hingga kecelakaan apabila ada kendaraan yang menyenggol sang boneka raksasa itu.
Namun, hal pokok yang mendasari Pemprov DKI mengeluarkan larangan tersebut adalah alasan untuk mengembalikan ondel-ondel sebagai warisan budaya khas Betawi yang harus ditempatkan dan diapresiasi dengan baik.Â
Keberadaan ondel-ondel mengamen di jalanan dianggap sudah menjatuhkan nilai sebuah ikon budaya.