So far sih enggak, naik bus, MRT dan KRL kan ber-AC, jadi bagi saya yang di rumah nggak punya AC justru pas buat melindungi diri dari hembusan hawa dingin yang menusuk tulang.Â
Apalagi di angkutan umum macam bus dan KRL tuh AC-nya berhembus langsung ke kepala. Bagi saya yang lumayan tinggi jelas jadi masalah tersendiri kalau tidak pakai penutup kepala.
Jadi outfit berangkat kerja saya tiap hari adalah jaket parasut bertudung kepala, masker plus tas berbahan parasut juga untuk membawa keperluan pribadi. Tas ini hampir sama dengan jaket, mudah dicuci dan cepat kering.
Lalu soal apakah efektif mencegah dari penularan korona, sebenarnya sih sama saja dengan para pakar tersebut, saya pun nggak yakin seratus persen pakaian lengan panjang bisa menjadi penangkal virus. Tapi namanya juga usaha apa salahnya sih Pak? Dibilang aneh dan lebay ya biarin saja mah.
Mungkin para ahli dan dokter itu belum pernah merasakan bagaimana naik KRL Commuterline di kala padat penumpang. Satu sama lain bisa saling nempel ketika berdesakan.Â
Bahkan kalau kereta ngerem dikit, tak jarang ada penumpang yang mencengkeram lengan kita untuk berpegangan. Lha terus gimana nasibnya jika musim pandemi gini tak pakai lengan panjang?
Kata para ahli, lebih baik di KRL dikurangi kepadatan penumpang agar bisa jaga jarak. Tapi bos, faktanya itu tidak mudah. Kita harus realistis bahwa sepanjang perkantoran di Jakarta sudah full beroperasi, mau protokol cara apapun buktinya saat ini selalu saja terdapat kepadatan baik di stasiun maupun di dalam KRL Commuterline.
Namun di satu sisi aturan dari Kemenhub ini seolah mengakui bahwa memang sulit mencegah kepadatan penumpang di moda seperti KRL Commuterline. Makanya disuruh pakai lengan panjang atau jaket sekalian.
Ibaratnya, kalau di suatu lingkungan RT sudah nggak bisa mencegah banjir tiap tahun, ya warganya diwajibkan punya pelampung di tiap rumah. Gitu kali ya?