Sudah sekitar tiga pekan saya kembali beraktivitas masuk ke kantor lagi setelah sempat "menghilang" beberapa bulan dengan melakukan WFH. Ketika saya kembali bertemu dengan rekan-rekan kerja dan para bos-bos di kantor saya, pertanyaan pertama yang mereka lontarkan kepada saya sungguh hampir seragam.
"Lho, kamu naik apa ke sini?"
Ketika saya jawab naik bus PPD yang kapasitasnya sudah dibatasi 70 persen (meskipun ongkosnya naik), reaksi mereka juga hampir seragam.
"Oh, syukurlah, kirain naik KRL," ucap mereka.
Well, sebelumnya saya memang sudah kadung dikenal sebagai "anker" alias anak kereta yang tiap hari berangkat dan pulang kerja naik KRL Commuterline.Â
Mungkin kalau waktu itu saya menjawab "naik KRL" bisa-bisa langsung disemprotin disinfektan dan disuruh mandi dulu dan ganti baju sebelum masuk ke ruang kerja.
Kini di masa pandemi Covid-19, KRL Commuterline memang menjadi sorotan karena meskipun sudah menerapkan berbagai metode protokol kesehatan, nyatanya tetap kesulitan menangani penumpang yang jumlahnya memang nggak kira-kira banyaknya.
Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan akan fokus melakukan pengawasan pada dua area yaitu pasar dan KRL Commuterline ketika mengumumkan PSBB fase kedua pada awal bulan Juli ini. Hal ini membuktikan bahwa KRL Commuterline memang disadari sangat penting dan diwaspadai dalam mata rantai penyebaran Covid-19.
"Mas, emang sekarang lebih baik nggak naik kereta dulu deh, masih gawat," ujar seorang senior di kantor saya.
Sebenarnya saya beralih moda transportasi juga bukan karena tekanan siapapun, tapi kesadaran diri di masa pandemi ini. Sayangnya memang saya tidak memiliki kendaraan pribadi, atau punya tebengan untuk berangkat ngantor.Â
Tapi setidaknya dengan beralih naik bus PPD, bisa mengurangi resiko penularan virus ketimbang naik KRL Commuterline yang sungguh susah untuk menjaga jarak.