"Ayah! Bunda! Aku boseeen! Mau main apa lagi?" kalimat ini akhir-akhir ini kerap meluncur dari mulut si bungsu.
Wajar sih, sebagai murid PAUD, sudah lama dia tidak pergi ke sekolah selama pandemi. Sementara kami sebagai orang tua juga tidak bisa full menemani bermain karena harus membagi waktu dengan pekerjaan dan berbagai hal lain.
Sedangkan kalimat andalannya tersebut sebenarnya adalah kode agar kami meminjamkan smartphone padanya. Tapi tentu tak semudah itu kami memberikan. Dalam keluarga kami ada aturan bahwa adik dan kakaknya yang sudah kelas 4 SD hanya boleh meminjam gawai berupa smartphone saat hari libur saja, yakni akhir pekan ditambah saat tanggal merah. Itupun cuma maksimal 1,5 sampai 2 jam per anak.
Malah bisa saja anak kami tidak bisa memegang smartphone dalam waktu lama, misalnya selama dua pekan atau satu bulan. Kalau itu yang terjadi disebabkan karena si anak telah melakukan kesalahan berat, misalnya merusakkan peralatan di rumah seperti remote TV atau pintu kamar mandi. Selain dilarang memakai gawai, TV pun tidak boleh nyala selama periode hukuman.
Terlalu keras? Sepertinya tidak jika pada akhirnya hukuman itu justru membuat anak kami malah lebih sering berkutat membaca buku-buku kesukaannya.
Bukan perkara mudah menerapkan aturan seperti itu. Persoalan terbesar adalah benturan dengan lingkungan sekitar, entah itu tetangga, teman sekolah hingga saat berkumpul dengan sanak saudara.
Pernah suatu ketika anak saya tiba-tiba masuk rumah sambil menahan tangisnya. Padahal sebelumnya ia ketawa-ketawa dengan anak-anak di lingkungan kompleks rumah kami.
"Huh, aku nggak diajak main karena nggak punya henpon..."
Memang seolah menjadi hal wajar ketika anak-anak usia balita di lingkungan kami sudah diberi keleluasaan memegang smartphone. Mungkin hanya untuk sekedar main game dan melihat video di YouTube, tetapi namanya juga anak-anak, ada kalanya mereka belum bisa membedakan tindakan yang tepat dan kurang tepat. Makanya ketika melihat anak lain yang tidak memiliki gawai dianggap sebagai keanehan dan malah ditinggalkan.
Kadang kasihan juga melihat anak sulung saya ketika dia berinteraksi dengan teman-teman di sekolahnya yang kerap menjadikan topik game online sebagai bahan obrolannya. Anak saya jelas hanya bengong karena tidak mengikuti topik tersebut.
Saat diberi waktu untuk memakai smartphone kami, paling banter ia hanya main game biasa saja, yang tidak diakses secara online, dan setelahnya beralih melihat video di YouTube mencari video favoritnya bertema lift, eskalator, jenis-jenis kereta dan sejenisnya. Itupun dengan waktu yang sudah dibatasi.
Sebuah PR berat bagi kami selaku orang tua untuk selalu memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang kebijakan pemakaian gawai bagi mereka. Harus pelan-pelan memberikan pengertian dan selalu diulang terhadap pertanyaan mereka. Kenapa hanya tiap libur saja? Kenapa tidak boleh punya henpon sendiri? Kenapa anak-anak lain boleh? Serta beragam pertanyaan sejenis.
Anggapan bahwa anak-anak kecil wajar memakai gawai seolah memang sudah umum terjadi. Kerap kali saya melihat anak-anak yang belum bisa ngomong sekalipun sudah diberi smartphone untuk membuatnya diam saat menangis. Banyak orang tua rupanya merasa tak ambil pusing dengan hal itu.
Bahkan para guru juga kerap terbawa arus ini secara tak sadar. Ada guru yang terjebak pemahaman bahwa dalam bayangannya semua anak bisa mengakses smartphone kapanpun, sehingga seperti saat situasi sekarang justru ada guru SD yang menugaskan anak tiap hari mencari referensi tentang sebuah topik pelajaran di Google maupun di YouTube.
Okelah itu ada kaitannya dengan pelajaran sekolah. Tapi apa kabar dengan keluarga yang membatasi pemakaian smartphone hanya di hari libur? Mungkin keluarga seperti kami bisa dianggap anomali dalam masyarakat.
Bagi orang tua seperti saya, maunya sih juga ikut anjuran ahli-ahli parenting seperti Kak Seto yang berpendapat bahwa anak baru dapat dikenalkan dengan gawai ketika duduk di kelas 5 SD. Tapi jelas mustahil dilakukan di tengah gempuran pengaruh kanan dan kiri yang kian dahsyat.
Bagi keluarga kami, aturan yang diterapkan adalah jalan tengah. Sebagai orang tua jelas kami tidak tega melihat anak-anak kami sama sekali ketinggalan teknologi yang seolah sudah menjadi hal lazim di sekitar kita. Namun di sisi lain ada berbagai hal yang mesti dikontrol dan tidak bisa dilepaskan begitu saja terkait pemakaian gawai.
Ya, tentu kita tidak ingin anak kita harus berhadapan dengan ruang terapi atau psikolog anak akibat permasalahan tumbuh kembang, yang ketika di awal diagnosa selalu saja ada pertanyaan wajib tentang bagaimana pemakaian gawai anak setiap harinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H