"It's the same thing with race. It's not my first thoughts that count, it's my second, third and fourth thought, and each and every case I'm in. It comes down to the same thing: the action and interaction I'm having with the person that I'm interacting with!" -- Elliot Anderson (Black or White).
Isu rasial memang sensitif. Namun tak banyak yang seperti 'Balck or White'. Kisah tentang perebutan hak asuh seorang anak tetapi terasa makin pelik ketika berbenturan dengan isu rasial. Sesuatu hal yang mestinya tak diniatkan untuk menimbulkan intrik berbau rasisme, tapi justru ada dorongan kultural yang membuatnya terbalut isu tersebut.
Dalam 'Black or White', film keluaran 2014 ini, Kevin Costner berperan sebagai Elliot Anderson, seorang pria paruh baya yang baru saja kehilangan isterinya karena kecelakaan. Kejadian tersebut seolah melengkapi nasib tragis Elliot yang selalu kehilangan orang-orang yang dicintainya. Sebelumnya, anak perempuan satu-satunya, Carol, juga meninggal tujuh tahun sebelumnya saat melahirkan tanpa ikatan perkawinan.
Bayi yang lahir dari kandungan Carol, sekarang tumbuh menjadi seorang gadis yang menyenangkan. Eloise Anderson namanya, lahir dengan ras campuran dari seorang ibu yang berkulit putih dan ayahnya, Reggie (Andre Holland) yang berkulit hitam. Sejak Eloise lahir, Reggie seolah menghilang entah ke mana.
Masalah muncul ketika Rowena (Octavia Spencer) yang merupakan ibu dari Reggie, merasa perlu mengambil hak asuh Eloise karena tidak yakin Elliot mampu mengasuh Eloise dengan baik. Rowena adalah tipikal orang kulit hitam yang mengutamakan keluarga dan komunitasnya. Ia tinggal di daerah komunitas orang berkulit hitam dan rumahnya yang besar dipenuhi oleh belasan keponakan, sepupu dan kerabat lainnya.
Sejak awal, sebenarnya gambar-gambar yang disuguhkan dalam film ini tidak menunjukkan adanya pertentangan berbau rasial. Hubungan Elliot dan Rowena terlihat sewajarnya seperti 'besan' pada umumnya. Rowena dan keluarga besarnya bahkan hadir dalam pemakaman isteri Elliot. Begitu pula ketika Elliot datang ke rumah besar Rowena, tak ada anggota keluarga yang seluruhnya berkulit hitam memandang aneh pada Elliot. Justru sapaan, pelukan, senyum dan rasa hormat diberikan pada Elliot.
Tensi film mulai memanas justru saat keinginan Rowena untuk mengasuh Eloise mesti melibatkan Jeremiah (Anthony Mackie), sang adik sepupu yang juga seorang pengacara handal. Ketika pengadilan menjadi panggung bagi Rowena dan Elliot memperebutkan hak asuh cucunya, maka tak dapat dielakkan jika kedua tim pengacara akan menggoreng isu rasial dalam persoalan keluarga ini.
Namun, tampaknya Elliot memang terlalu 'tak tergoyahkan' untuk digiring menjadi sosok yang rasis. Elliot yang bijak tapi di satu sisi rapuh dan manusiawi ketika lepas kontrol memaki seorang kulit hitam penuh masalah macam Reggie.
Namun, justru Kevin Costner di sini seolah sedang melakukan kampanye tunggal tentang stigma ras kulit putih yang 'nggak gitu-gitu amat juga' dalam relasinya menjalin solidaritas dengan kaum kulit hitam. Demikian juga dengan stigma terhadap kulit hitam.
Peran Costner memang terasa sentral dalam film ini, selain karena dia aktor utama, Costner juga rela merogoh kocek pribadinya untuk membiayai film ini.Â
Bukan uang sedikit tentunya yang mesti ia keluarkan. Bagi Costner tema ini penting diangkat ke layar lebar untuk menginspirasi dunia yang kerap terjerembab dalam kasus rasisme.
Siapa pula tak kenal reputasi seorang Kevin Costner? Sederet film dipimpinnya menancap di memori penggemarnya, ada Dances With Wolves, The Untouchables, JFK, The Bodyguard, Robin Hood: Prince of Thieves dan lain-lain. Dua Oscar pun telah digenggamnya. So, ketika Costner memutuskan untuk memodali sebuah cerita untuk diproduksi, maka 'Black or White' lahir bak sebuah pesan cinta darinya bagi khalayak.
Estell sanggup menggambarkan seorang gadis kecil yang cuek, lucu, tidak cengeng, terkadang manja dan mudah dicintai oleh siapapun. Performa berkelas ini amat pantas diacungi jempol dan tepuk tangan tulus.
Secara keseluruhan 'Black or White' adalah drama layak tonton meski untuk kurun sepuluh tahun ke depan. Bahkan untuk mengisi kegiatan stay at home dan Ramadan tahun ini, film tersebut terbilang pas untuk ngabuburit. Tontonan ini menyentuh tapi nggak bakal bikin kamu menangis kok. Banyak adegan yang akan membuat kita tertawa kecil, senyum getir, sampai tertawa dalam hati karena konteksnya yang sensitif tapi nyata.
Nah, udah kepengen nonton belum?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H