Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Segar Artikel Utama

Ugal-ugalan Beli Makanan, Giliran Ngabisin Ogah-ogahan

2 Mei 2020   03:30 Diperbarui: 2 Mei 2020   04:56 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga piring makanan dengan menu berbeda masih tersaji di depan meja saya. Sementara saya sudah mulai lemas sambil ngelus-elus perut yang kekenyangan. Seorang kawan di ujung meja bahkan sudah siap-siap lagi melemparkan sisa kue yang belum disentuh ke arah saya.

"Ayo habisin, badan segede gitu masa gak kuat?" ujar seorang kawan.

Itu adalah salah satu momen buka bersama yang saya ikuti tiap tahunnya, kecuali tahun ini. Enaknya sih selalu dibayarin. Makan sepuasnya di restoran mahal sampe klenger. Tapi apakah selalu nikmat? Belum tentu.

Saat dalam situasi seperti itu, jelas saya tidak berani mengirim pesan WA kepada istri di rumah. Ya, soalnya belajar dari pengalaman, justru membuat saya merasa bersalah.

"Say, udah pada makan? Selamat berbuka ya," tulis saya.

"Iya udah. Pakai orek tempe sama sayur bening doang mah di sini. Enak banget ya yang buka di luar makan enak-enak?" jawab istri saya, disertai bonus sindiran yang menohok.

Duh, salah lagi deh.

Memang tidak setiap hari ada momen buka bersama seperti itu. Saya bersedia ikut karena menghormati yang mengundang sekaligus sebagai ajang silaturahmi dengan rekan-rekan. Plus karena dibayarin.

Namun, dalam hati saya justru selalu timbul perasaan nggak enak ketika melihat menu buka puasa yang dipesan sungguh berlebihan.

"Takut kurang," kata kawan yang selalu nambah pesanan.

Saya justru bertanya pada diri sendiri, apa perasaan nggak enak ini muncul karena level saya sebenarnya bukan di sini? Wong makan sego pecel saja sudah terasa berada di puncak kenikmatan, kok sekarang disuguhi menu-menu dengan istilah asing macam "white rice with coconut tree and red hot chilli pepper". Hmm, jenis makanan apa pula itu?

Well, padahal begitu azan Maghrib terdengar dan mulai minum segelas kolak dan sebiji gorengan saja perut sudah terasa penuh. Lha ini masih harus makan nasi beserta lauk dan dayang-dayangnya. 

Please deh, kalau ada tawaran ngebungkus pasti saya yang pertama bakal melakukannya. Sisa makanan yang tak tersentuh itu mungkin bisa untuk makan kami sekeluarga selama dua hari ke depan.

Gaya hedonisme berbuka puasa ini kok rasa-rasanya jadi hal biasa di kota seperti Jakarta. Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, booking tempat di restoran untuk buka bersama tuh jadi tantangan tersendiri. Mustahil pula dadakan jika tujuannya di restoran yang ngetop. Padahal ya itu tadi, mahal gaes.

Sudah mahal, pesan makanan banyak nggak dihabiskan. Sangat menggebu saat pesan, giliran makan nggak sanggup menghabiskan. Ini nggak cuma terjadi di meja saya lho. Meja-meja lain, orang-orang yang tak saya kenal, situasinya juga mirip. Makanan terlihat melimpah dan banyak yang tersisa.

Tapi jika diperhatikan, gaya berlebih-lebihan saat buka puasa tuh sebenarnya tak mengenal kasta. Buka puasa di rumah bersama keluarga biasa-biasa saja pun bisa berlebihan akibat lapar mata. 

Segala macam takjil dibeli tanpa babibu. Ada kolak, teh manis, lontong isi oncom, gorengan dari mulai bakwan, pisang goreng hingga tahu isi, tidak lupa disempurnakan dengan makanan utama berupa nasi uduk ayam bakar atau yang lainnya. 

Sungguh makan ugal-ugalan level rumahan ini mah, tapi ngabisinnya ogah-ogahan.

Fenomena kalap saat belanja makanan ini sepertinya memang terasa normal pada masanya. Semua orang bakal hepi, karena yang beli hepi dan yang jualan hepi juga. 

Orang yang nggak hepi tentu mereka kalangan yang tidak mampu, mereka yang sudah terbiasa lapar sepanjang tahun, yang sebenarnya sangat pantas untuk menerima uluran tangan para mampu.

Padahal sepemahaman saya saat dikasih pelajaran agama dari guru di sekolah dulu, puasa itu diwajibkan agar orang-orang bisa ikut merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Begini lho rasanya lapar tuh, gini lho rasanya haus itu. Juga segala nafsu manusia yang harus dikendalikan melalui puasa.

Lha kok ini begitu bedug bunyi nafsunya lepas kendali semua?

Sekarang saat pandemi Covid-19 menyerang di bulan Ramadan, setidaknya manusia dipaksa untuk tidak melakukan hedonisme dan ugal-ugalan saat berbuka puasa. 

Banyak restoran tutup dan bila buka memberlakukan kebijakan take away alias dibungkus bae. Penjual takjil pun tak semarak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bagi kelas menengah ke bawah, penghematan anggaran alias duit lah yang menjadi alasan tak lagi jor-joran membeli takjil dan lauk untuk berbuka. Jika dirunut lagi, duit menipis karena corona memaksa orang memiliki penghasilan yang kurang, bahkan ada yang mata pencahariannya terpaksa menghilang.

Bagi kelas atas, menggelar buka bersama dengan gaya lebay hanya akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Ramai-ramai berkerumun pastinya bakal dihindari. Maka lebih baik dan lebih aman tentu saja dengan memperbanyak berbagi dengan yang kurang mampu.

Jika dipikir-pikir dan direnungkan kembali, bisa jadi kondisi pandemi Covid-19 saat Ramadan ini adalah ujian sekaligus sentilan bagi manusia. Mungkin saja Allah hendak membukakan mata orang-orang yang terbiasa berlebihan sehingga melupakan hakekat puasa itu sendiri. 

Ramadan memang lebih baik diwarnai dengan aktivitas berbagi dengan sesama, dan kondisi saat ini justru memaksa kita untuk lebih peka dan peduli.

Coba deh diingat lagi, waktu kita kalap makan sepuasnya saat berbuka puasa, sempat terlintaskah di pikiran kita saat itu bahwa ada banyak orang di luar sana yang justru masih menahan lapar? Mungkin saja ingat sih, tapi langsung pura-pura nggak ingat.

Kini, dalam hati kecil saya justru ada sedikit kelegaan bahwa Ramadan kali ini bakal sepenuhnya berbuka puasa di rumah. Sepertinya memang tidak ada orang yang nekat bakal mengundang saya berbuka puasa bersama di restoran atau di manapun itu.

Saya bisa fokus berpuasa di rumah dan menikmati hidangan buka puasa yang sederhana dalam jumlah yang cukup. Ini juga pembelajaran bagi anak-anak saya, bahwa buka puasa tidak harus dilengkapi dengan aneka hidangan yang ujung-ujungnya bakal tersisa. 

Semoga generasi mendatang dan kita di masa mendatang bisa memaknainya demikian, dan itu berarti mengembalikan puasa Ramadan ke makna yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun