Tiga piring makanan dengan menu berbeda masih tersaji di depan meja saya. Sementara saya sudah mulai lemas sambil ngelus-elus perut yang kekenyangan. Seorang kawan di ujung meja bahkan sudah siap-siap lagi melemparkan sisa kue yang belum disentuh ke arah saya.
"Ayo habisin, badan segede gitu masa gak kuat?" ujar seorang kawan.
Itu adalah salah satu momen buka bersama yang saya ikuti tiap tahunnya, kecuali tahun ini. Enaknya sih selalu dibayarin. Makan sepuasnya di restoran mahal sampe klenger. Tapi apakah selalu nikmat? Belum tentu.
Saat dalam situasi seperti itu, jelas saya tidak berani mengirim pesan WA kepada istri di rumah. Ya, soalnya belajar dari pengalaman, justru membuat saya merasa bersalah.
"Say, udah pada makan? Selamat berbuka ya," tulis saya.
"Iya udah. Pakai orek tempe sama sayur bening doang mah di sini. Enak banget ya yang buka di luar makan enak-enak?" jawab istri saya, disertai bonus sindiran yang menohok.
Duh, salah lagi deh.
Memang tidak setiap hari ada momen buka bersama seperti itu. Saya bersedia ikut karena menghormati yang mengundang sekaligus sebagai ajang silaturahmi dengan rekan-rekan. Plus karena dibayarin.
Namun, dalam hati saya justru selalu timbul perasaan nggak enak ketika melihat menu buka puasa yang dipesan sungguh berlebihan.
"Takut kurang," kata kawan yang selalu nambah pesanan.
Saya justru bertanya pada diri sendiri, apa perasaan nggak enak ini muncul karena level saya sebenarnya bukan di sini? Wong makan sego pecel saja sudah terasa berada di puncak kenikmatan, kok sekarang disuguhi menu-menu dengan istilah asing macam "white rice with coconut tree and red hot chilli pepper". Hmm, jenis makanan apa pula itu?