Demam Asian Games 2018 memang tengah melanda masyarakat Indonesia, tak terkecuali di kalangan anak-anak. Hal ini terbukti saat saya harus mengisi sesi story telling di depan anak-anak kelas 3 SD di Sekolah Alam Indonesia Cibinong, Kabupaten Bogor, Senin, 27 Agustus 2018 siang.
Saat saya datang di hadapan mereka mengenakan kaos Asian Games 2018, mereka sudah kasak-kusuk penuh rasa ingin tahu. Begitu saya menyampaikan tema story telling adalah tentang Asian Games 2018, teriakan kegembiraan pun pecah.
"Yeee!! Asian Games!" teriak salah satu dari mereka.
"Energy of Asia..." yups, kalimat ini pun terdengar di antara mereka, menandakan bahwa Asian Games 2018 sudah begitu akrab.
Story telling di Sekolah Alam Indonesia (SAI) Cibinong sendiri sudah menjadi kegiatan wajib bagi para orang tua murid, terutama bagi sang ayah. Setiap orang tua memiliki jadwal satu kali bercerita dalam satu semester, jadi tiap pekannya bergantian orang tua datang bercerita di depan kelas anaknya. Makanya karena anak saya bersekolah di sini, saya pun selalu merencanakan cuti agar bisa datang ke sekolah.
Kenapa harus Asian Games 2018 untuk tema story telling kali ini?
Ya mumpung sedang heboh-hebohnya dan saya rasa bagi anak-anak ada sisi yang harus disampaikan tentang Asian Games kali ini. Makanya saya membawa boneka maskot Asian Games 2018 yang bernama Atung.
"Ada yang tahu Atung ini binatang apa?"
"Rusaaaa.... kayak di kebun raya...!"
"Rusa Bawean...!"
Nah, ternyata ada yang tahu juga. Keren! Hanya saja ketika saya tanya lagi letak Pulau Bawean, mereka belum tahu dan bahkan ada yang mengira dari luar negeri.
"Pulau Bawean itu letaknya di Provinsi Jawa Timur..." ujar saya.
Tentang maskot saja saya sudah bercerita tentang tiga binatang langka yakni rusa Bawean, burung Cenderawasih dan badak bercula satu. Tak hanya asal daerahnya, tetapi juga pakaian yang dikenakan para maskot itu. Seperti Atung yang mengenakan sarung dengan motif tumpal dari Jakarta. Kaka (badak bercula satu) yang memakai pakaian tradisional dengan motif bunga khas Palembang. Juga Bhin Bhin (burung Cederawasih) yang memakai rompi bermotif Asmat dari Papua.
"Atung ini melambangkan kecepatan, karena rusa larinya cepat. Kaka melambangkan kekuatan sedangkan Bhin Bhin melambangkan strategi," ujar saya di hadapan anak-anak.
"Pak, jadi Kaka ini kuat tapi bodoh ya? Kan yang pintar strategi burung Cenderawasih?"
Nah, pertanyaan bagus yang sebenarnya membuat saya ingin forward saat itu juga ke akun resmi medsosnya Asian Games 2018. Pertanyaan kritis dari anak-anak yang selalu tidak akan merasa puas dengan penjelasan satu arah. Ya mereka harus bertanya dan mendapat penjelasan.
"Jadi begini Nak.... (menghela nafas, sambil mikir)... dalam dunia olah raga meskipun olah raga tersebut permainannya mengandalkan kekuatan tetap harus memakai strategi juga. Contohnya sepakbola tuh, tidak asal main tendang bola atau kecepatan lari saja, tetapi harus berpikir bagaimana mengalahkan lawan," mungkin seperti itulah jawaban saya.
Ini baru kelas 3 SD lho, bagaimana nanti kelas-kelas selanjutnya ya?
"Pak, pas pertandingan di Istora kemarin kenapa terjadi kericuhan ya?"
"Ricuh? Emm, maksud kamu kericuhan yang bagaimana?" saya balik nanya, serius ini.
"Itu lho, kenapa ada banyak penonton yang buang sampah sembarangan di sekitar stadion?"
"Oooh... Nah, itu perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Apalagi kita sebagai tuan rumah dan banyak orang dari negara lain yang datang sebagai tamu, malu dong kalau buang sampah sembarangan, masak harus orang Jepang yang mengambil dan membersihkan sampah? Malu kan? Iya kan?" mereka pun manggut-manggut.
Kebanggaan menjadi warga Indonesia pun saya coba telisik. Misalnya tentang siapa saja atlet Indonesia yang mereka kenal dan favoritkan.
"Zohri!"
"Ginting!"
Itulah nama-nama yang disebut dengan cepat dan bisa jadi adalah idola mereka di masa kini.
"Zohri dan Ginting, iya mereka andalan Indonesia dan memang mereka sudah kalah. Tapi bagaimanapun menang kalah dalam olah raga adalah hal biasa, yang terpenting mereka sudah berjuang dan lebih penting lagi adalah persahabatan dengan negara-negara lain," ucap saya.
Story telling bagi saya selalu seru dan menyenangkan. Pertanyaan dan celoteh tak terduga memang kerap mewarnai, tapi sebagai orang tua sudah tentu saya harus siap karena di rumah pun anak-anak selalu bertanya dengan pertanyaan yang kadang datang bak jumping smash pemain bulu tangkis. Tajam, menukik dan tak terduga.
Justru ada suatu pengalaman yang saya dapatkan dengan berbicara di depan kelas menggantikan peran guru walau hanya sekitar 30 menit. Saya bisa merasakan bagaimana suasana belajar anak saya di sekolah. Juga mengenal teman-teman anak saya dengan lebih baik.
Nah, usai story telling kali ini, saya pun harus segera mencari tema untuk story telling edisi semester depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H