Lebaran tinggal beberapa hari lagi, yang berarti bulan Ramadhan sebentar lagi akan berlalu. Kata pak ustaz, orang beriman bakal bersedih jika pada saatnya berpisah dengan Ramadhan. Bulan puasa adalah bulan pembuktian iman kita kepada Allah Swt.
Lalu apa yang membuat kita rindu dengan Ramadhan?
Saat berbuka puasa dengan segala takjilnya kah? Boleh kok, siapa tidak boleh merindukan hal ini? Ibarat kita rindu seseorang, masak iya tak boleh rindu hanya karena senyumnya yang renyah bak rengginang? Tapi di satu sisi sebenarnya kita tak suka dengan kebiasaannya menguap tanpa tedeng aling-aling.
Saat Ramadhan, siapapun yang sadar makna Ramadhan akan selalu berharap pahala yang berlipat ganda. Maka wajarlah jika Ramadhan memang istimewa. Siapa sih yang tidak suka dengan hal-hal yang istimewa?
Bagi saya, Ramadhan adalah penyejuk di tengah hiruk pikuk dan carut marut yang terjadi di sekitar kita. Ibarat di bulan-bulan lain orang banyak ngegas bahkan saling sikut, Ramadhan memberikan perasaan "selow" atau ada peredaman. Meski tak juga hilang semua yang ngegas, paling tidak Ramadhan membuat sebagian orang merasakan ketenangan. Banyak orang lebih fokus berlomba-lomba berbuat baik daripada mencari musuh. Banyak orang yang lebih peduli dan senang berbagi.
---
Suatu saat di bulan Ramadhan, seorang pria tua terlihat emosi ketika secara tak sengaja tersenggol seseorang yang hendak keluar dari padatnya KRL Commuterline. Secara spontan, ia pun berteriak dan memaki.
"Hei, sini kamu! Nantang ya? Sini saya ladeni!" ujarnya.
Entah pria tua tersebut puasa atau tidak, yang jelas reaksinya tidak bisa diterima oleh lingkungan dengan suasana Ramadhan. Maka reaksi orang-orang di sekelilingnya adalah mencoba menjadi penyejuk terhadap bara yang menyala.
"Astaghfirullah Pak, sabar Pak," ucap beberapa orang.
"Bulan puasa Pak, jangan marah-marah," ucap yang lain.
"Sabar Pak, sabar..."
Kejadian serupa di bulan lain sudah sering saya lihat, dan penyelesaiannya tidak cukup  hanya menyabarkan orang-orang yang berkonfilk itu, tapi bisa lebih panjang lagi ceritanya. Lapar saat tidak puasa mungkin bisa memicu emosi berlebihan, tetapi lapar saat puasa seolah ikut mengendalikan hawa nafsu, emosi dan tindakan kita.
Maka suasana "selow" mana lagi yang akan kita rindukan selain di bulan Ramadhan?
---
Rindu adalah hak. Tidak rindu juga hak.
Menjadi hak seseorang pula, begitu pula saya, untuk merindukan Ramadhan. Namun, rupanya merindu Ramadhan itu berat. Bukan, bukan karena saya terpengaruh kata-kata "rindu berat" ala film anak muda tahun 1990 itu, bukan.
Jika kita bertanya, rindu apanya di bulan Ramadhan? Semestinya jawabnya adalah keseluruhan dari Ramadhan, bukan karena takjilnya, bukan karena kolak biji salaknya, bukan pula karena THR-nya.
Rindu parsial itu namanya. Bahkan mungkin hanya berupa rindu portable, rindu yang tak terinstal dalam hati.
Ah, tapi apakah saya berhak menghakimi level kerinduan seseorang? Sudah tentu jawabnya adalah cermin di kamar saya, tinggal saya perhatikan baik-baik dan saya renungkan dalam-dalam. Memang, rindu itu berat, menjadi perindu juga sama beratnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H