Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Perlukah Mendidik Anak Berpuasa dengan Mitos?

2 Juni 2018   23:21 Diperbarui: 2 Juni 2018   23:23 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika ada anak kira-kira berusia 7 atau 8 tahunan menangis saat puasa. Dia meraung-raung dan di sekitarnya banyak orang yang melihat. Ibunya mencoba menenangkan si anak dengan kata-kata yang terdengar familiar.

"Diem ah! Jangan nangis! Batal lho puasanya," ucap si ibu.

Yups, bisa jadi anda-anda sekalian yang sedang membaca tulisan ini pun pada masa kecilnya pernah diberikan ultimatum seperti ini. Jangankan sampeyan, wong dulu masa kecil saya juga begitu. Bertahun-tahun lamanya tumbuh pemahaman bahwa saat puasa tidak boleh nangis, karena bisa membatalkan puasa.

Bahkan sampai remaja pun, sekitar masa SMA, masih punya pemikiran seperti itu. Kalau nangis batal puasanya, dan bukti terkuat terletak pada air mata yang keluar. Maka, pada masa itu, sebagai remaja labil yang punya perasaan (cieeh...), saya nangisnya dalam hati saja. Kan nggak keluar air mata, jadi nggak batal dong.

Selain nangis, marah juga dikatakan sebagai penyebab batalnya puasa. Kalau ada anak kecil berantem, yang satu nangis dan yang lainnya terlihat marah, maka orang tua yang bertindak sebagai wasit langsung mengeluarkan kata-kata sakti.

"Sudah makan sana! Batal puasa kalian, puasa itu nggak boleh nangis dan marah, sana ambil minum lalu makan nasi, nggak usah pakai lauk, belum matang!"

Nah lho, kalau emak-emak sudah berbicara seperti itu ciut deh nyali anak-anak. Untungnya tidak ada yang membalikkan kata-kata si emak.

"Tuh, emak juga marah, berarti batal juga dong puasanya."

Informasi yang tidak benar yang disampaikan kepada anak-anak tentu benar-benar harus diperhitungkan. Mitos-mitos tentang hal-hal yang membatalkan puasa tersebut bisa dianggap sebagai fakta atau kebenaran dan dibawa sampai dewasa.

Lain cerita jika saat nangis atau marah, sambil ngemil bakwan.

"Apaan sih ini bakwan, kagak ada rasanya?! Beli di mana sih?! Ayo katakan Alfredo!"

Batal deh puasa.

Memang tujuannya adalah untuk mendidik dan mengajari anak agar berpuasa dengan benar dan khusyuk. Namun, mitos tetaplah mitos. Mengajarkan fakta walaupun berat tetap lebih baik daripada hidup di antara mitos.

Pemahaman lain tentang puasa yang kerap berujung sebagai mitos adalah saat orang tua secara tidak sadar menanamkan kesimpulan bahwa puasa bisa bikin lemas.

"Nak, ayo bangun sahur, makan dulu, nanti puasanya lemas lho," inilah kata-kata beraura negatif yang semakin memperkuat persepsi anak bahwa puasa itu bikin lemas.

Persepsi yang dibangun sejak kecil akhirnya terbawa sampai dewasa. Maka mereka yang terpapar mitos dan persepsi ini akan selalu menganggap bahwa puasa itu tidak menyenangkan karena bisa bikin badan lemas.

Padahal kalau puasa dijalani dengan normal-normal saja, tidak ada ketakutan dan persepsi lemas, malah bisa bikin badan jadi segar. Puasa tetaplah harus dijalani dengan menyenangkan tanpa berpikiran tentang hal yang negatif.

Nah, akhir kata, selamat berpuasa, jangan pikirkan THR karena bisa jadi itu adalah fakta yang tertunda atau justru hanyalah sebuah mitos. Semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun