Kubuka pelan pintu kamarnya, seperti biasa, ia telah terlelap. Sekitar empat jam lagi, aku akan membangunkannya untuk makan sahur.
"Gimana puasanya kemarin? Kuat kan?" tanyaku.
Ia hanya mengangguk pelan. Kuduga, ia masih terhanyut dalam kantuk. Kutatap lekat dirinya, ada rasa bangga menyeruak, meski rasa bersalah seolah membayangi.
"Ayah...."
"Iya?"
"Semalam pulang jam berapa? Kok aku nggak dengar?" tanyanya.
"Jam setengah sebelas Nak, kamu kan sudah tidur.."
Dia kembali mengangguk.
Sudah hampir setengah bulan puasa Ramadan berjalan. Belum kudengar cerita bahwa anak lelakiku menyerah berpuasa. Kata ibunya kalau merasa haus di siang hari, ia memilih tidur. Tapi belum satu hari pun ia merengek minta batal.
Aku tak bisa menentukan reaksi yang tepat untuk hal itu. Seharusnya, sebagai ayah, aku lebih banyak di sampingnya. Berpuasa bersamanya, sholat berjamaah, berbuka bersama, hingga pergi bersama ke mushala untuk tarawih.
Tapi kami tak memiliki keistimewaan itu. Bulan Ramadan selalu saja ada tuntutan perusahaan di tempatku bekerja untuk mengejar target-target tertentu. Tak ada kalender warna merah bagi kami hingga lebaran.