Salah satu godaan besar saat Ramadan ternyata adalah mudik. Prosesi mudik dari mulai berburu tiket, berburu oleh-oleh, hingga perjalanan mudik, bisa-bisa malah mengganggu kekhusyukan ibadah dalam bulan Ramadan. Kecuali jika memang ibadah kita tak pernah berada dalam level khusyuk, ya kalau gitu apanya yang terganggu ya?
Sebelas tahun lalu, yap sebelas tahun lalu... saya ingat betul bahwa untuk bisa mudik ke kampung halaman, saya mesti berburu tiket bus dengan cara bergumul dalam antrean yang mirip suporter bola mau nonton Timnas. Sebelumnya petugas tiket sebuah perusahaan bus di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menginformasikan bahwa tiket untuk mudik lebaran baru akan dijual mulai pukul 05.00 dini hari pada tanggal yang telah ditetapkan. Maklum, dulu mah belum ada sistem online untuk beli tiket bus.
Kata orang-orang, untuk bisa dapat tiket yang diidamkan, saya harus antre sehari sebelum loket resmi dibuka. Habis tarawih langsung datang antre supaya dapat barisan depan, begitu kabarnya. Tapi saya tidak percaya dan memutuskan untuk datang sekira jam 2 pagi. Eh, ternyata setiba di pool bus tersebut, tampaklah lautan manusia sudah memenuhi halaman kantor perusahan bus yang luasnya kira-kira sepantaran lapangan bola. Mereka telah berbaris di depan belasan loket, ada yang tujuan ke Jogja, Solo, Wonogiri, Magelang, Surabaya, Tegal, Denpasar hingga Mataram.
Apesnya, saya lihat antrean ke Jogja dan Magelang terlihat paling ramai. Sempat terbersit pikiran hendak antre di tujuan Denpasar atau Mataram saja yang lebih pendek antreannya, tapi saya keburu sadar bahwa saya tidak punya kampung halaman di sana. Mau tidak mau saya pun mulai mengisi antrean di salah satu loket tujuan Jogja dengan kondisi depan saya kira-kira sudah ada sekitar 87 orang. Namanya juga perkiraan, kalau nggak 87 orang ya mungkin sekitar 65 orang lah.
Pemandangan dini hari itu sungguh luar biasa. Karena capek berdiri, rata-rata orang sudah duduk lesehan, bahkan ada yang antre sambil tiduran. Beberapa terlihat ngobrol, ada juga yang tampak seru main kartu remi. Ada pula yang gitaran. Wow, ternyata mereka para pencari tiket yang berpengalaman. Sudah persiapan property dari rumah.
Sungguh pemandangan yang instagramable. Sayangnya sebelas tahun lalu belum lahir yang namanya Instagram.
Tak terasa sudah sejam saya duduk manyun di tengah kerumunan yang makin ramai. Saat itu juga saya baru memikirkan untuk makan sahur. Saya perhatikan orang-orang ini kenapa tidak bubar dulu untuk mencari makan sahur ya? Memangnya nggak puasa?
Tapi saya harus berbaik sangka, wong dalam antrean beberapa di antaranya terlihat lahap makan... Pop Mie... Duh, kenapa pula jenis makanan itu selalu identik dengan bus? Pedagang Pop Mie tampak sibuk berkeliling melayani antuasiasme pembeli.
Saya mencoba mengalihkan pandangan ke luar halaman, lagi-lagi penjual Pop Mie yang tampak tersenyum lebar. Ah, berhubung saya datang sendirian, saya sempat bingung mau meninggalkan antrean untuk mencari makanan di luar. Hingga pada akhirnya saya harus mempercayakan untuk nitip antrean pada seorang pemuda di depan saya. Sosoknya terlihat kalem dan pendiam, dan saya yakin bahwa orang pendiam biasanya tidak banyak omong.
"Mas, boleh nitip antrean sebentar ya? Saya mau cari sahur," ujar saya.
Dia hanya mengangguk, dan benar prediksi saya, dia memang pendiam.
Saya pun bergegas menuju ke arah jalan raya, tampak di kejauhan ada kerumunan kecil. Rupanya antrean gerobak nasi goreng. Dari dekat , si abang terlihat berpeluh melayani pesanan nasi goreng.
"Mie goreng ada Bang?" tanya saya.
"Habis," jawabnya singkat.
Eh, tak tahunya ada seorang penjual Pop Mie lewat, sambil menawarkan dagangannya.
"Pop Mie saja Om..."
Bah...
Gara-gara mie goreng habis, saya pun terpaksa memesan nasi goreng.
"Tinggal satu Bang," kata si penjual.
Fiuh, masih untung ada. Nyaris deh. Lagian memangnya saya mau beli buat seisi rumah? Satu saja sudah cukup untuk isi perut. Faktanya dalam sejarah hidup saya berpuasa dan sahur, mungkin baru kali itu saya makan sahur dengan menu nasi goreng.
Dengan cepat saya menghabiskan sepiring nasi goreng yang rasanya hambar. Memang iya, jujur terasa hambar tapi namanya juga kepepet mau bagaimana lagi. Mungkin inilah akibat saya cuek terhadap Pop Mie yang amat kaya rasa.
Kembali ke antrean. Saya harus berterima kasih kepada pemuda harapan bangsa tadi. Ternyata dia cukup amanah. Terima kasih ya gaes.
Jam sudah menunjukkan hampir setengah lima pagi, dan orang-orang masih bertahan di posisi masing-masing. Hingga kemudian azan Subuh berkumandang. Bergetar rasanya. Tapi lho kok, orang-orang terlihat biasa saja, tidak ada pergerakan untuk bergegas ke mushola atau masjid. Ini Ramadan woi, mosok sholat saja dilupakan demi tiket mudik?
Tapi, ah, tidak boleh berburuk sangka. Tuh, ada beberapa yang bangkit dan nyari tempat sholat. Trus yang lain? Ah, mungkin mau Subuhan di rumah, abis dapat tiket jam 5, trus pulang dan sholat gitu loh. Ya kan?
Akhirnya saya pun kembali memberi kepercayaan kepada si pemuda tadi. Saya lupa namanya karena saya tidak ingat pernah bertanya padanya. Maaf ya gaes.
Mushola milik perusahan bus rupanya letaknya agak mojok dan rada-rada gelap gitu. Tempatnya sempit hanya cukup untuk empat orang sholat bersama. Oh, ya wajar saja kalau begini orang malas sholat di sini. Memang dasar perusahaan bus, punya mushola kok ala kadarnya. Melihat itu saya jadi bertekad kelak jika bisa membangun mushola sendiri, maka akan saya sediakan bus yang bagus untuk para jamaah. Amien.
Sempat tertegun dengan kondisi tempat sholat, saya pun bergegas menuju tempat wudhu yang tempatnya bahkan lebih gelap lagi. Tidak ada orang yang sedang wudhu, jadi sebelumnya saya merasa perlu untuk meregangkan tubuh. Senam-senam kecil lah. Lalu...
"Breettt.... tet... tet...!"
Ah, lega rasanya. Ternyata angin "jahat" di perut saya keluar juga. Nah, tetapi tiba-tiba kelegaan berubah menjadi kecemasan. Terdengar suara ngikik alias menahan tawa, sepertinya suara laki-laki dan perempuan. Duh, mereka di belakang saya...
Jadi mereka mengamati dan mendengarkan suara yang seharusnya saya setting "mute" itu. Saya pun hanya melirik ke belakang sekilas, pura-pura nggak tahu saja, kemudian saya bergegas mengambil air wudhu. Selesai.
Saya tiba kembali di antrean ketika loket-loket mulai dibuka tepat jam 5 pagi. Barisan mulai terlihat ada pergerakan, yang tadinya main remi kini bubar. Yang tadinya tiduran, kini sudah kucek-kucek mata sambil meluruskan badan. Yang tadinya jualan Pop Mie ternyata ikut ngantre juga, lho rupanya mau mudik juga toh?
Hingga akhirnya tiba giliran saya di depan loket.
"Tanggal 23 habis Mas, tinggal tanggal 24 dan 25," ucap si mbak penjaga loket.
Walah habis? Sudah ngantre lama, hasilnya kehabisan tiket untuk tanggal 23? Ya ampun, cobaan apa lagi ini? Saya manyun dan hanya terdiam. Bingung mau menentukan sikap.
"Mas! Woi Mas! Itu yang antre di belakang banyak!" ujar si mbak loket.
"Eh, iya deh Mbak, tanggal 24 saja deh," jawab saya, pasrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H