Pagi itu tak seperti biasanya, KRL Commuterline jurusan Tanah Abang belum juga terdengar akan segera masuk Stasiun Bojonggede. Sudah 20 menit lebih jarak waktunya dari KRL jurusan  Jakarta Kota yang sudah jalan sebelumnya.
"Lama amat, telat nih," gumam seorang calon penumpang, dia nampak gelisah.
Saya pun gelisah, begitu pula wajah-wajah banyak orang lainnya. Terbayang sudah bakal terlambat datang ke tempat kerjaan. Terbayang pula pendapatan harian yang bakal terpotong.
Peron sempit Stasiun Bojonggede tiba-tiba saja terasa penuh sesak. Wajar, satu kereta terlambat datang berarti ratusan orang terlambat terangkut.
Namun, tak lama kemudian petugas mengumumkan kereta akan segera masuk. Calon penumpang pun merapatkan barisan. Merangsek ke bibir peron, menetapkan strategi supaya bisa masuk lebih dulu.
Begitu kereta datang dan pintu-pintu terbuka, bergegaslah manusia-manusia pengais rejeki itu saling mendesak, berebutan masuk dan mencari posisi strategis. Gara-gara terlambat beberapa menit, kereta sudah terlanjur penuh, maka sisa ruang satu sentimeter pun sangatlah berharga. Jangan harap dapat tempat duduk, karena dapat posisi berdiri dan dua telapak kaki anda bisa menapak lantai kereta pun sudah merupakan nikmat. Karena tidak mustahil satu kaki kita akan menapak di kaki orang lain.
Saat kereta berhenti di Stasiun Citayam dan saat pintu-pintu kembali terbuka, gelombang manusia kembali mendesak dari luar. Mereka pantang menyerah untuk bisa masuk ke dalam. Kami yang di dalam pun berharap tidak ada yang memaksa masuk.
Itulah salah satu "egoisme" penumpang Commuterline. Saat di posisi di luar, kita akan sekuat tenaga memaksa masuk. Sebaliknya, ketika sudah di dalam kita akan berharap tidak ada penumpang baru yang masuk, bahkan memaki dalam hati orang yang memaksa dirinya masuk.
Situasi di Citayam hanya cobaan awal. Ketika tiba di stasiun berikutnya yakni Depok, Depok Baru, Pondok Cina dan seterusnya, situasinya sama. Penumpang di stasiun itu selalu saja memaksa masuk.
"Woi, sudah penuh woi!! Jangan paksa!!" teriakan ini mulai bermunculan.
"Penumpang yang tidak bisa masuk agar tidak memaksakan diri, silakan menunggu kereta selanjutnya," imbauan "template" dari petugas ini sudah pasti tidak akan digubris.
Menunggu kereta berikutnya sampai kapan jika situasinya sama? Bisa-bisa kena semprot bos di kantor gara-gara telatnya parah.
Tiba-tiba tak jauh dari posisi saya berdiri, terdengar suara perempuan, lirih memelas.
"Ada yang mau gantian duduk, saya nggak kuat mau pingsan..."
Bukan hal yang mengherankan. Saya pun merasakan bahwa pagi itu menjadi salah satu pagi penuh "tekanan" selama bertahun-tahun naik Commuterline. Saya hanya bisa pasrah saat dada saya tertekan sangat kuat ke punggung orang lain. Begitu pula saat sikut orang lain mampir ke ulu hati saya.
Saat kereta hendak berhenti atau saat mulai jalan, di dalam kereta seperti snack dalam toples yang dikocok-kocok. Hal ini diperparah dengan posisi besi pegangan yang tidak "terjangkau" oleh rata-rata penumpang di dalam.
Belakangan moda transportasi KRL Commuterline memang menjadi pilihan yang dilirik oleh masyarakat sekitar Jakarta. Mereka yang "tersisih" ke Depok, Bogor, Bekasi hingga Tangerang, memilih Commuterline sebagai andalan transportasi menuju tempat mencari nafkah di Jakarta. Selain lebih murah juga dianggap lebih cepat (dengan syarat tidak ada gangguan keterlambatan).
Semakin sesaknya Commuterline disinyalir akibat makin menjamurnya perumahan baru di daerah pinggiran. Kini, coba saja anda lihat brosur-brosur penawaran perumahan baru, pasti pengembang akan mencantumkan kata-kata promo bahwa lokasi perumahan mereka "hanya beberapa menit saja" menuju ke stasiun KRL.
Makin banyak penduduk, makin banyak pula pengguna Commuterline. Tapi sisi manusiawi di Commuterline menjadi taruhannya. Ketika armada tidak bertambah, ketika jalur tidak bisa pula ditambah, maka ribuan orang tiap harinya akan menerima nasib dijejal-jejal bak "pepes" dalam kotak besi berwujud Commuterline.
Sebagai orang yang sudah lama mengandalkan moda transportasi ini, saya justru mulai berhenti untuk mengajak orang agar naik Commuterline. Dulu ketika melihat kawan atau tetangga terlihat lelah karena tiap hari ke Jakarta naik sepeda motor, saya akan menyarankannya untuk pindah saja naik kereta.
"Enak kok naik kereta, cepat nyampainya, nggak capek di jalan," kata saya, promosi gratis. Tapi itu dulu.
"Wah, enak ya naik motor, bisa mampir-mampir, sekarang mah naik kereta penuh mulu, jangan naik kereta deh..." ini pernyataan saya sekarang.
Memang benar dan masuk akal, ngapain juga naik Commuterline di jaman sekarang. Udah penuh, banyak gangguan, sering telat pula. Lagipula nggak ada gagah-gagahnya naik kereta. Nggak bakal pula terlihat cantik saat naik kereta.
Memangnya anda mau dari rumah sudah dandan rapi, baju diseterika, wangi pula, sepatu sudah disemir mengkilap, eh pas turun kereta tubuh jadi penuh keringat, baju awut-awutan, sepatu pun kusam lagi gara-gara keinjek mulu. Belum lagi pegel-pegelnya, biaya pijat dan berobat lebih mahal daripada ongkos naik keretanya.
Sudahlah kalian jangan naik KRL Commuterline lagi, capek. Bagi yang berencana beli rumah dekat stasiun, lupakan saja, naik kereta itu berat. Biar saya saja, iya biar saya saja yang tetap naik Commuterline, kalian naik yang lain saja. Kalau kalian sudah pindah angkutan, nah kan enak untuk saya, karena kereta tak bakal sepadat biasanya. Iya toh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H