Menunggu kereta berikutnya sampai kapan jika situasinya sama? Bisa-bisa kena semprot bos di kantor gara-gara telatnya parah.
Tiba-tiba tak jauh dari posisi saya berdiri, terdengar suara perempuan, lirih memelas.
"Ada yang mau gantian duduk, saya nggak kuat mau pingsan..."
Bukan hal yang mengherankan. Saya pun merasakan bahwa pagi itu menjadi salah satu pagi penuh "tekanan" selama bertahun-tahun naik Commuterline. Saya hanya bisa pasrah saat dada saya tertekan sangat kuat ke punggung orang lain. Begitu pula saat sikut orang lain mampir ke ulu hati saya.
Saat kereta hendak berhenti atau saat mulai jalan, di dalam kereta seperti snack dalam toples yang dikocok-kocok. Hal ini diperparah dengan posisi besi pegangan yang tidak "terjangkau" oleh rata-rata penumpang di dalam.
Belakangan moda transportasi KRL Commuterline memang menjadi pilihan yang dilirik oleh masyarakat sekitar Jakarta. Mereka yang "tersisih" ke Depok, Bogor, Bekasi hingga Tangerang, memilih Commuterline sebagai andalan transportasi menuju tempat mencari nafkah di Jakarta. Selain lebih murah juga dianggap lebih cepat (dengan syarat tidak ada gangguan keterlambatan).
Semakin sesaknya Commuterline disinyalir akibat makin menjamurnya perumahan baru di daerah pinggiran. Kini, coba saja anda lihat brosur-brosur penawaran perumahan baru, pasti pengembang akan mencantumkan kata-kata promo bahwa lokasi perumahan mereka "hanya beberapa menit saja" menuju ke stasiun KRL.
Makin banyak penduduk, makin banyak pula pengguna Commuterline. Tapi sisi manusiawi di Commuterline menjadi taruhannya. Ketika armada tidak bertambah, ketika jalur tidak bisa pula ditambah, maka ribuan orang tiap harinya akan menerima nasib dijejal-jejal bak "pepes" dalam kotak besi berwujud Commuterline.
Sebagai orang yang sudah lama mengandalkan moda transportasi ini, saya justru mulai berhenti untuk mengajak orang agar naik Commuterline. Dulu ketika melihat kawan atau tetangga terlihat lelah karena tiap hari ke Jakarta naik sepeda motor, saya akan menyarankannya untuk pindah saja naik kereta.
"Enak kok naik kereta, cepat nyampainya, nggak capek di jalan," kata saya, promosi gratis. Tapi itu dulu.