Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sembuh Gara-gara KDRT (Kerokan Dalam Rumah Tangga)...

24 November 2017   23:12 Diperbarui: 24 November 2017   23:15 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilih balsem yang pas dan tepat untuk kerokan (foto by widikurniawan)

"Kalau ngerokin tuh begini, dari atas ke bawah, arahnya miring dan harus yang rapi padat garisnya... tuh merah banget kan? Trus yang sini nih, ini anginnya ngumpul di sini semua, harus dikerok nih.. ini titiknya," itulah kata-katanya saat ngerok saya.

Mungkin dia sambil ngajarin saya cara kerokan yang baik dan benar, soalnya kalau sebaliknya pas istri saya masuk angin dan butuh kerokan eh sayanya yang tidak menguasai teknik dasar kerokan yang baik. Alhasil sering saya melihat istri saya kerokan sendiri dengan cara ngerok area yang bisa dia jangkau sendiri di sekitar punggung, bawah ketiak dan leher belakang.

Saat melihatnya begitu kadang saya merasa bersalah, tapi apa mau dikata, lha wong sepertinya bakat ngerok saya sudah mentok. Jadi ya, paling banter akhirnya saya pilih memijat saja. Ibaratnya, sebagai orang biasa saya tidak mungkinlah memberi kuliah pada seorang "dosen Fakultas Teknik Kerokan".

Entah, bagaimana caranya para nenek moyang kita menemukan cara kerokan ini sehingga menjadi alternatif pengobatan yang manjur dan digemari masyarakat. Seringkali kita hanya berdebat bahwa secara medis kerokan masih diragukan.

Tapi jika dipikir dengan logika dan fakta, teknik penyembuhan dengan kerokan sudah berlangsung lama dan turun-temurun serta diakui oleh masyarakat luas, khususnya di Indonesia dan beberapa negara Asia. Saya sih berpikirnya sederhana saja, ngapain juga orang-orang percaya bahwa logam yang digores-goreskan ke tubuh bisa jadi alternatif penyembuhan masuk angin? Jika hasil akhirnya tidak membuat orang-orang merasa lebih baik, tentu kerokan sudah lama ditinggalkan.

Bahkan di era medsos yang disertai lautan hoax seperti sekarang, saya belum pernah menemukan berita atau artikel yang melabeli kerokan sebagai praktek yang berbahaya. Misalnya saja, usai kerokan seseorang kejang-kejang dan dibawa ke UGD, tidak pernah saya dengar yang seperti itu. Atau mungkin karena asyik kerokan, sepasang suami istri dilaporkan karena dianggap melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Berita aneh seperti itupun saya sama sekali tidak pernah menemukannya.

Kerokan terbukti telah menjadi kearifan lokal yang terpelihara, terutama di negara kita. Secara turun temurun telah menjadi kebiasaan yang murah meriah tapi mujarab saat penyakit datang. Orang-orang banyak memiliki prinsip "dikit-dikit jangan minum obat" karena dengan kerokan saja sudah bisa mengusir angin, sakit kepala, perut mual, pegal linu dan lain sebagainya. Bahkan tukang pijat tradisional biasanya akan menawarkan kerokan sebagai salah satu service andalannya.

Posisi kerokan dalam tradisi kita terbukti sudah terjaga cukup baik. Seolah akan menenangkan ketika seseorang masuk angin dan sudah kerokan.

"Alhamdulillah sudah kerokan, sudah mendingan kok..."

Nah, bagaimana? Masih takut kerokan? Hmm, seperti saya dong, takut di bibir tapi dalam hati ingin sekali kerokan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun