Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kondangan Pun Batal Gara-gara Macet..

7 November 2017   21:38 Diperbarui: 7 November 2017   22:26 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan sehari-hari di Jakarta: macet! (foto: widikurniawan)

Tinggal di daerah Bogor dan kerja di kawasan Jakarta, membuat saya paham bagaimana rasanya terkena dampak macet. Kemacetan bagi pengguna angkutan umum seperti saya saja berpengaruh besar, apalagi bagi yang pengguna kendaraan pribadi. Sudah wajar terdengar ketika orang-orang yang bekerja di Jakarta dan tinggal di daerah Jabodetabek, terlambat datang gara-gara macet.

"Sori telat, macet banget euy..." inilah alasan klasik yang kerap terdengar.

"Gile, macetnya parah... Ada truk terguling di tol..." kalau ini alasan spesial, meskipun terasa sering terdengar juga.

Terlambat datang di tempat kerja karena macet, jika diakumulasi bisa saja mengancam karier seseorang. Demikian pula saat pulang kerja, macet bisa jadi akan mengancam kebersamaan dengan keluarga. Saya bahkan tidak pernah berjanji pada keluarga di rumah akan pulang pada jam tertentu, karena memang durasi perjalanan kerap tak terprediksi dengan tepat.

Meskipun saya keluar dari kantor lebih awal, mungkin saja ketika tiba di rumah sudah larut malam dibanding hari biasa, karena saat itu hujan lebat turun dan macet terjadi di mana-mana. Sedih rasanya bila maunya pulang sampai rumah bisa ketemu anak-anak, eh gara-gara macet sampai rumah hanya bisa memandangi mereka yang sudah terlelap tidur.

Macet nyatanya menjadi penyakit yang terlanjur akut dan susah disembuhkan. Tak hanya di hari dan jam kerja, kemacetan di Jabodetabek sudah merambah di hari libur dan akhir pekan.

"Lebaran aja macet Mas, padahal dulu katanya Jakarta bakal lengang saat orang-orang mudik. Tapi sekarang lebaran bisa saja macet, hari libur Sabtu Minggu juga macet di mana-mana," ucap seorang driver Uber ketika mengantar saya di suatu akhir pekan dari Depok menuju Cibinong.

Kota penyangga ibu kota seperti Depok pun sudah terkenal parah kemacetannya, tak kalah dengan Jakarta. Apalagi di hari Sabtu, bisa jadi kita akan bisa lebih mudah masuk ke Kota Depok, tetapi ketika mau keluar dari kota ini sungguhlah butuh perjuangan berat karena titik kemacetan yang susah diurai.

Padahal pada akhir pekan biasanya orang-orang mengalokasikan waktunya untuk kegiatan bersama keluarga dan bersilaturahmi. Macet akan membuat waktu yang terbuang di jalan akan lebih banyak daripada saat kita bersilaturahmi.

"Ya ampun, parah bener sekarang tiap ke Depok pulang pergi macet banget begini. Capek badan, pusing kepala, tapi nggak enak sama Bapak dan Ibu, masak kita ntar jadi jarang nengokin?" curhatan istri saya ini memang jadi sebuah dilema sekaligus realita.

Menengok orang tua yang sebenarnya tinggal tidak begitu jauh pasti menjadi kebutuhan dan kewajiban, tetapi justru menjadi perjalanan sangat melelahkan gara-gara macet.

Demikian pula ketika kita mendapatkan undangan resepsi pernikahan seorang rekan ataupun kerabat. Acara yang seharusnya membuat siapapun bahagia, malah bisa membuat kening berkerut-kerut jika membayangkan kemacetan menuju tempat resepsi maupun perjalanan pulangnya.

Setahun belakangan, saya sudah beberapa kali mendengar cerita saat seseorang terpaksa balik kanan pulang ke rumahnya gara-gara saat akan pergi kondangan lalu lintasnya macet parah. Rata-rata orang menggelar resepsi pernikahan di gedung antara jam 10.00 hingga jam 14.00. Jika tidak antisipasi keberangkatan, padahal misalnya warga Depok mau kondangan ke Bekasi atau Tangerang, bisa jadi orang tersebut akan tiba di gedung resepsi bersamaan dengan pihak katering sedang membereskan sisa-sisa makanan dan perlengkapannya.

"Batal kondangan sih nggak apa-apa, daripada kalau pengantinnya yang terlambat akad gara-gara macet," celetuk seorang kawan saya.

Perlu solusi tepat untuk mengatasi macet di Jakarta dan sekitarnya (foto: widikurniawan)
Perlu solusi tepat untuk mengatasi macet di Jakarta dan sekitarnya (foto: widikurniawan)
Ride sharing sebagai solusi?

Bicara mengenai solusi, sudah banyak pakar ikut berpikir. Sudah banyak pula kebijakan pemerintah yang diterapkan, misalnya dulu ada sistem 3 in 1 yang diganti kebijakan plat nomor ganjil genap. Apakah macet sudah hilang? Ah, sudahlah...

Kemudian yang terbaru, mewajibkan pengguna tol untuk membayar dengan kartu non tunai. Hasilnya? Masih baru, jadi belum bisa dinilai.

Digenjotnya infrastruktur transportasi massal seperti MRT dan LRT juga belum bisa dirasakan dampaknya karena belum jadi. Justru dampak yang kini terjadi adalah bertambahnya kemacetan selama proses pembangunan infrastruktur tersebut. Wajar juga sih, namanya menuju cita-cita pasti butuh pengorbanan.

Saya dari dulu malah kepikiran supaya ada kebijakan rada ekstrim, misalnya kebijakan 3 in 1 jadi 5 in 1 di seluruh ruas jalan Jakarta tanpa kecuali. Atau kebijakan ganjil genap diganti dengan hanya mengizinkan mobil dengan plat nomor dengan ekor angka 1 boleh jalan di tanggal 1, 11, 21 dan 31 saja. Plat nomor ekor angka 2 hanya boleh jalan di tanggal 2, 12, dan 22 saja, dan seterusnya. Lebih keren lagi bila kebijakan 5 in 1 digabung dengan sistem tanggal. Biar lengang sekalian.

Gila? Ya, soalnya bagaimana lagi, saya sering melihat banyak mobil-mobil mewah ukuran besar dan hanya berisi satu atau dua orang saja. Bukankah mubazir? Bukankah hanya akan menuh-menuhin jalan dan menambah kemacetan?

Perbincangan dengan seorang driver Uber beberapa bulan lalu masih saya ingat betul. Driver itu menceriterakan seorang penumpangnya yang enggan membeli mobil pribadi.

"Saya pernah dapat penumpang bule Mas, dia tinggal di Kemang, orangnya pasti kaya lah, tapi dia nggak mau beli mobil lho..." cerita si driver Uber kepada saya.

"Memangnya kenapa?" tanya saya.

"Itu bule bilang kalau beli mobil dia bakalan repot mikirin garasi di rumahnya, mikirin servis mobil, parkir dan lain-lain, ribet katanya, gak efektif, mending naik Uber begini enak, kemarin aja saya antar ke mana-mana, dia naik sama istri dan anaknya pergi belanja saya tungguin, makan saya tungguin, abis itu saya dapat tips lebih, haha..."

Cerita driver itu membuat saya merenung, apa jadinya jika semua orang di Jabodetabek ini punya mobil semua dan maunya ke mana-mana pakai mobil, mau makan malam pakai mobil, mau ngopi bawa mobil, mau beli gorengan pun harus naik mobil pribadi dulu. Andai pemikiran si bule itu bisa menular ke banyak orang-orang, mungkin kejadian seperti yang digambarkan dalam video UBER Boxes Sunrise tidak akan terjadi. Ketika orang-orang dalam waktu bersamaan merasa berhak membawa mobilnya masing-masing. Egois, individualis dan cenderung narsis, yang penting gaya dan nyaman bagi dirinya sendiri.


Sepertinya gerakan ride sharing atau konsep berkendara bersama harus segera digaungkan lebih luas lagi. Saya pernah melihat di luar Stasiun Sudirman Jakarta, setiap pagi ada mobil milik sebuah perusahaan yang menunggu karyawannya turun dari kereta. Setelah terisi oleh beberapa orang yang merupakan karyawan perusahaan itu, mobil tersebut segera akan berangkat menuju kantor perusahaan itu. Sebuah langkah bagus, tapi alangkah lebih baik jika konsep berbagi kendaraan ini dikembangkan lagi.

Misalnya saja diterapkan aturan wajib nebeng saat berangkat kerja di instansi-instansi pemerintah, BUMN dan swasta yang berkantor di Jakarta. Bagi karyawan yang membawa mobil pribadi diwajibkan membawa minimal dua orang rekan kerjanya yang ikut nebeng. Jika tidak maka dia tidak bisa mendapat jatah tempat parkir.

Jika gagasan itu dianggap mengada-ada dan belum bisa dilakukan, hadirnya layanan ride sharing oleh penyedia jasa transportasi online bisa menjadi solusi yang menarik dan realistis. Saat melakukan perjalanan sendiri, orang bisa pilih mau nebeng, pakai ojek online atau angkutan massal. Nah jika hendak bepergian dengan beberapa orang, pilihannya bisa transportasi online dengan layanan seperti UberX maupun UberXL. Sangat nyaman, tak perlu mikir beli bensin dan mencari tempat parkir.

Pada akhirnya, solusi untuk menghindari kemacetan juga tergantung pada diri masing-masing. Jika masih banyak yang berpikiran enggan naik kendaraan umum, enggan nebeng dan enggan menggunakan jasa transportasi online karena lebih suka dianggap gagah saat berkendara dengan mobil mewahnya, tentu kemacetan masih saja terus menghantui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun