Demikian pula ketika kita mendapatkan undangan resepsi pernikahan seorang rekan ataupun kerabat. Acara yang seharusnya membuat siapapun bahagia, malah bisa membuat kening berkerut-kerut jika membayangkan kemacetan menuju tempat resepsi maupun perjalanan pulangnya.
Setahun belakangan, saya sudah beberapa kali mendengar cerita saat seseorang terpaksa balik kanan pulang ke rumahnya gara-gara saat akan pergi kondangan lalu lintasnya macet parah. Rata-rata orang menggelar resepsi pernikahan di gedung antara jam 10.00 hingga jam 14.00. Jika tidak antisipasi keberangkatan, padahal misalnya warga Depok mau kondangan ke Bekasi atau Tangerang, bisa jadi orang tersebut akan tiba di gedung resepsi bersamaan dengan pihak katering sedang membereskan sisa-sisa makanan dan perlengkapannya.
"Batal kondangan sih nggak apa-apa, daripada kalau pengantinnya yang terlambat akad gara-gara macet," celetuk seorang kawan saya.
Bicara mengenai solusi, sudah banyak pakar ikut berpikir. Sudah banyak pula kebijakan pemerintah yang diterapkan, misalnya dulu ada sistem 3 in 1 yang diganti kebijakan plat nomor ganjil genap. Apakah macet sudah hilang? Ah, sudahlah...
Kemudian yang terbaru, mewajibkan pengguna tol untuk membayar dengan kartu non tunai. Hasilnya? Masih baru, jadi belum bisa dinilai.
Digenjotnya infrastruktur transportasi massal seperti MRT dan LRT juga belum bisa dirasakan dampaknya karena belum jadi. Justru dampak yang kini terjadi adalah bertambahnya kemacetan selama proses pembangunan infrastruktur tersebut. Wajar juga sih, namanya menuju cita-cita pasti butuh pengorbanan.
Saya dari dulu malah kepikiran supaya ada kebijakan rada ekstrim, misalnya kebijakan 3 in 1 jadi 5 in 1 di seluruh ruas jalan Jakarta tanpa kecuali. Atau kebijakan ganjil genap diganti dengan hanya mengizinkan mobil dengan plat nomor dengan ekor angka 1 boleh jalan di tanggal 1, 11, 21 dan 31 saja. Plat nomor ekor angka 2 hanya boleh jalan di tanggal 2, 12, dan 22 saja, dan seterusnya. Lebih keren lagi bila kebijakan 5 in 1 digabung dengan sistem tanggal. Biar lengang sekalian.
Gila? Ya, soalnya bagaimana lagi, saya sering melihat banyak mobil-mobil mewah ukuran besar dan hanya berisi satu atau dua orang saja. Bukankah mubazir? Bukankah hanya akan menuh-menuhin jalan dan menambah kemacetan?
Perbincangan dengan seorang driver Uber beberapa bulan lalu masih saya ingat betul. Driver itu menceriterakan seorang penumpangnya yang enggan membeli mobil pribadi.
"Saya pernah dapat penumpang bule Mas, dia tinggal di Kemang, orangnya pasti kaya lah, tapi dia nggak mau beli mobil lho..." cerita si driver Uber kepada saya.