Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ayo Bawa Bekal Sarapan ke Kantor

23 Januari 2017   18:01 Diperbarui: 23 Januari 2017   18:07 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di samping temanya kocak, lomba ini sebenarnya memang lucu. Nyuruh bikin resolusi 2017 kok saat bulan Januari sudah hampir habis, yang benar aja min? Ini ibarat orang sudah naik kereta baru disuruh mikir mau ke mana. Hmm... tapi baiklah.

Saya mah orangnya selow alias woles, jadi nggak muluk-muluklah punya resolusi. Simpel tapi sederhana. Nah...

Jadi begini, saya tuh paling tidak bisa kalau sarapan di rumah sebelum berangkat kerja. Beberapa kali melakukan perbuatan itu (sarapan-red), saya malah menuai masalah saat dalam perjalanan. Saya pernah mengalami kejadian kebelet BAB paling menegangkan sepanjang sejarah hidup saya ketika dalam perjalanan naik KRL Commuterline yang penuh sesak penumpang.  Ini gara-gara saya nekat sarapan mie instan goreng yang dimasak dengan cara direbus. Saya sarapan usai Subuh dan berangkat setelahnya, jadi kira-kira jam setengah 6 sudah naik Commuterline.

Semula sih biasa saja, tidak terjadi gejolak berarti dalam perut saya. Tapi menjelang Stasiun Lenteng Agung, rasa mules tiba-tiba menghebat. Meski saya sudah pakai jurus memiringkan pantat sekitar 30 derajat ke kanan, tapi rasa-rasanya ada gejolak yang tak bisa saya tahan lebih lama.

Kereta sudah melewati Stasiun Tanjung Barat dan saat itulah saya putuskan harus turun di stasiun berikutnya, yakni Stasiun Pasar Minggu.

“Permisi Bang, permisi Pak, geser dong saya mau turun Pasar Minggu…” ucap saya meminta jalan.

Lumayan susah mencari jalan mendekat ke pintu, soalnya pagi itu penumpang rata-rata tujuannya Jakarta, bukan tujuan nanggung macam Pasar Minggu. Dalam kondisi kereta full manusia, gerak aja susah apalagi mau turun. Tapi demi hajat ini, saya harus turun.

Oke, meski dengan susah payah akhirnya perjuangan saya berhasil mendekat ke pintu. Tinggal nunggu bentar lagi, palingan semenit kereta bakal nyampai di Stasiun Pasar Minggu. Tapi, lho kok…

Tiba-tiba saja kereta memperlambat kecepatan dan akhirnya berhenti sebelum sampai stasiun.

“Ah, ada apa pula ini?” gerutu saya dalam hati sambil terus konsentrasi menahan gejolak kawula muda.

“Kami mohon maaf kereta anda saat ini tertahan di sinyal masuk Stasiun Pasar Minggu,” ujar petugas melalui pengeras suara.

Gila deh, pas kebelet begini pakai acara ketahan segala. Padahal nih ya, sangat sangat jarang banget kereta pagi hari berhenti di sinyal masuk Stasiun Pasar Minggu. Kenapa harus sekarang? Kenapa? Why? Saya pun mengutuk dalam hati. Jangan-jangan ada konspirasi yang sengaja ingin membuat saya tersiksa dalam mules yang sangat dahsyat.

 “Please deh, aku harus kuat, aku harus kuat!” demikian tekat saya dalam hati.

Sempat saya terngiang oleh pesan orang tua saat saya masih kecil nan imut.

“Nak, kalau kamu kebelet BAB, ambil batu dan masukkan ke dalam kantong celana kamu, niscaya kamu sanggup menahan hasrat yang menderamu,” begitu kira-kira pesan orang tua dan para sesepuh di kampung saya dulu.

Masalahnya, tidak ada batu di dalam kereta itu, jadi saya tetap harus tabah dan fokus menahan diri dari cobaan ini. Akhirnya, beberapa saat kemudian kereta kembali berjalan, meski pelan. Saya sedikit bisa bernafas lega. Nah, begitu kereta sampai dan berhenti di Pasar Minggu, saya pun bergegas keluar dari kereta.

Pengennya lari ke toilet secepatnya, tapi ah mana bisa? Saya takut ‘barang bawaan’ saya ini bakal jatuh berantakan. Makanya langkah saya cukup nanggung. Cepat tidak, pelan juga tidak. Ditambah letak toilet umum di Stasiun Pasar Minggu di ujung selatan peron, lumayan jauh dari tempat saya turun dari kereta. Mana lantainya banyak naik turun lagi.

“Gila ini, siapa yang mindahin toilet ke ujung sono?” kutuk saya dalam hati.

Pas nyampai toilet ternyata persoalan makin pelik ketika saya mendapati toilet pria yang ada penuh dipakai orang. Duh, bisa-bisa…

Saya kemudian melongok sekeliling dan melihat sesosok pria bertubuh besar berperawakan sangar sedang membersihkan lantai sekitar toilet. Sebuah ide kepepet terlintas di pikiran saya.

“Pak, Pak, maaf boleh saya pakai toilet wanita Pak, sudah kebelet nih…” kata saya.

“Uwwe….” entah dia bilang apa, tidak jelas terdengar, wajahnya pun tetap sangar tanpa memalingkan mukanya ke arah saya.

“Pak, boleh nggak pak saya pakai toilet wanita?” ucap saya mengulang pertanyaan.

“Huwwue…uuwuu... we..” kembali tidak jelas dia ngomong apa.

“Pak? Apa?”

“Iya sono pake aja!” kali ini dia menoleh ke saya sambil meninggikan kalimatnya.

Bergegas saya pun masuk ke toilet wanita yang saat itu sedang sepi. Sesaat berikutnya sudah bisa ketebak, penuh kelegaan, plong rasanya. Betapa leganya bisa melepas beban yang saya pikul kurang lebih 30 menit belakangan. Meski dengan perjuangan yang cukup menguras fisik dan mental. Saya merasa menang, saya merasa puas.

Nah, kembali lagi ke resolusi 2017.

Berkaca dari kejadian tersebut, saya kemudian memutuskan untuk tidak sarapan di rumah sebelum berangkat kerja. Saya harus sering-sering bawa bekal sarapan sendiri dari rumah. Nah, catat itu, resolusi saya di tahun 2017 adalah membawa bekal sarapan sendiri dari rumah untuk kemudian disantap di kantor sebelum jam kerja dimulai. Saya juga tidak akan tergiur jajan sarapan meski tukang bubur ayam pura-pura menyapa atau ibu penjual nasi uduk senyum-senyum centil ke saya.

Jika saya bisa melakukannya dengan disiplin, banyak banget lho keuntungannya. Coba cek satu-satu.

Pertama, meningkatkan stabilitas perekonomian keluarga. Saya bisa berhemat karena biasanya saya bawa nasi sisa semalam dan lauknya paling banter telur ceplok atau gorengan semalam yang digoreng lagi atau paling istimewa berlauk abon sapi hasil oleh-oleh teman.

Apakah menurut kalian itu bergizi? Tentu tidak, tapi demi penghematan dan daripada saya terlalu kenyang juga di pagi hari, its okay bagi saya. Toh untuk siang hari saya berharap bisa makan lebih bergizi dan menyehatkan.

Kedua, meningkatkan keharmonisan keluarga. Betapa senangnya istri saya jika saya bawa bekal dari rumah. Istri saya senang karena nasi sisa semalam bisa saya habiskan. Dia juga senang saya tidak sarapan di warung-warung yang bisa beresiko saya nambah kenalan baru yang lebih kinclong.

Ketiga, dengan bawa bekal sarapan dari rumah saya bisa menularkan semangat yang sama pada rekan-rekan kerja di kantor saya. Ini kalau bisa jadi semacam gerakan nasional pasti bakal menumbuhkan kesejahteraan di kalangan pekerja.

Keempat, tentu bagi saya pribadi bakal mencegah kejadian-kejadian seperti saya ceritakan di atas yang berpotensi menimbulkan aib.

Oke, demikian resolusi 2017 saya, semoga bisa menjadi inspirasi bagi rekan-rekan pembaca semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun