Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akhirnya, Anakku Diterima di Sekolah "Kandang Ayam"

29 Mei 2016   00:45 Diperbarui: 29 Mei 2016   11:11 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dibutuhkan orang tua tangguh untuk anak yang hebat seperti ini,” dan kata-kata yang pernah dilontarkan seseorang ini kerap terngiang sebagai penyemangat.

Sebelum kami mendaftar untuk jenjang Sekolah Dasar, anak kami telah menjalani hari-hari bersekolah di TK yang memiliki program inklusi. Meski demikian, tidak seratus persen bebas dari tatapan aneh dari orang tua murid lainnya. Tidak seratus persen pula bebas dari insiden-insiden kecil yang akhirnya menyinggung label diskriminasi terhadap anak kami.

Namun, sejauh ini, secara umum saya dan istri saya merasa bersyukur dengan perkembangannya. Apapun capaian positifnya adalah prestasi bagi anak kami. Bukan nilai-nilai di atas kertas, tapi lebih dari itu bagaimana dia berkembang memiliki bekal kemampuan yang berguna bagi hidupnya.

foto by widikurniawan
foto by widikurniawan
Terlepas dari saya yang kebetulan memiliki anak dengan label berkebutuhan khusus, sudah seharusnya setiap elemen masyarakat melek terhadap konsep pendidikan yang benar-benar mendidik anak untuk berkembang utuh menjadi manusia. Bukan konsep pendidikan yang menitikberatkan angka-angka menawan di atas buku laporan.

Menjadikan anak-anak kita sebagai insan yang bermoral, jujur, cerdas dan mulia tentu tidak bisa berhasil hanya dari memaksa mereka untuk membaca buku dan menghapalnya tiap hari. Bukan pula dengan sekedar menyerahkannya ke lembaga-lembaga penyedia bimbingan belajar tambahan di luar jam sekolah.

Pendidikan sejatinya adalah tanggung jawab bersama, dari mulai pemerintah, masyarakat, orang tua hingga sekolah. Itulah yang saya pahami dari konsep pendidikan sebagai gerakan semesta. Namun, melihat kenyataan sekeliling, saya merasakan bahwa gerakan semesta mesti diperjuangkan lebih lanjut.

Bagaimana tidak? Ketika stigma negatif masih berlaku bagi anak berkebutuhan khusus misalnya. Diskriminasi ini jelas tidak sehat dan melanggar hak setiap anak untuk mendapatkan pengajaran yang layak dan setara.

Gerakan ini juga akan menemui hambatan apabila para orang tua menyerahkan begitu saja urusan belajar mengajar pada pihak sekolah. Padahal sejatinya pendidikan adalah tanggung jawab utama keluarga, dalam hal ini adalah orang tua. Akhirnya muncul sekolah-sekolah yang semata menjual fasilitas dan label unggulan tapi melupakan akar dari sebuah pendidikan, yakni peran keluarga.

Sebagai penutup tulisan ini, saya kembali teringat pernyataan pihak sekolah dasar dalam satu kesempatan wawancara seperti yang saya singgung di awal tulisan.

“Sekolah ini adalah sekolah komunitas, jadi jika ananda diterima nanti, Ayah dan Bunda nantinya juga sebagai pemilik sekolah ini, bukan semata yayasan atau pihak tertentu. Orang tua tetap bertanggungjawab pada pendidikan anaknya, jadi memang diperlukan kerjasama yang baik di antara sekolah dan orang tua,” demikian pernyataannya.

Dan semoga saja kami benar-benar bisa menerapkan hal yang terbaik bagi pendidikan anak kami, meskipun anak kami harus bersekolah di sekolah "kandang ayam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun