Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akhirnya, Anakku Diterima di Sekolah "Kandang Ayam"

29 Mei 2016   00:45 Diperbarui: 29 Mei 2016   11:11 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan adalah hak setiap anak (foto by widikurniawan)

“Sekolah ini pernah dibilang sebagai sekolah kandang ayam, ya karena memang begini keadaannya, kami memang pelihara ayam di kandang, belum lagi kelasnya seadanya. Kami tidak punya gedung megah di sini, yang kami punya adalah saung-saung berdinding kayu, lalu hanya pepohonan yang bisa bikin sejuk, bukan AC. Bagaimana? Ayah dan Bunda siap menyekolahkan ananda dengan kondisi seperti ini?” tanya pria paruh baya itu, diiringi senyum ramah yang dari bibirnya.

Saya menghela nafas sejenak, lalu melirik ke arah istri saya yang memandang dengan tatapan yang seolah sudah memahami jawaban yang akan saya lontarkan.

“Siap Pak, semoga anak kami juga lebih siap. Gedung megah bukanlah faktor yang  membuat kami datang mendaftar ke sekolah ini. Kami sudah lebih dulu mempelajari konsep pendidikan di sini, dan kami berharap anak kami cocok di sini,” jawab saya.

“Baiklah, tapi di sini kita berharap Ayah dan Bunda untuk aktif berperan karena pendidikan tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah lalu selesai. Beberapa kegiatan di sini kami harapkan Ayah dan Bunda juga ikut berperan,  misalnya kita biasanya ada kegiatan market day, lalu memberikan tugas kepada Ayah dan Bunda untuk mendampingi ananda membuat sesuatu di rumah dari barang bekas dan proses tersebut didokumentasikan. Kemudian ada lagi kegiatan story telling, saat Ayah harus datang ke sekolah mendongeng di depan anak-anak. Di sini peran Ayah diharapkan lebih menonjol karena kami percaya Ayah adalah sosok yang sangat penting dalam pendidikan dan perkembangan seorang anak. Bagaimana Ayah dan Bunda, sanggup?”

“Insyaallah kami siap, justru hal-hal seperti itu yang anak saya suka. Dia terlihat sangat kreatif dengan barang apapun, kemudian jiwa wirausahanya sepertinya ada karena dia suka berperan jadi penjual bakso atau malah pura-pura menjual bensin ketika anak-anak lainnya sedang main sepeda-sepedaan, cocok lah kalau ada kegiatan semacam market day,” ujar saya sambil memandang ke arah anak laki-laki saya di kejauhan yang tengah berlarian dengan anak-anak sebayanya yang kelak akan menjadi teman sekolahnya.

Ah, lihatlah betapa gembiranya dia berada di tempat yang kelak akan menjadi tempat belajarnya pada jenjang Sekolah Dasar. Itu dengan catatan jika kami sebagai orang tuanya lolos dalam wawancara kali ini.

Ya memang, di sekolah ini bukan anak kami yang dites atau diwawancara, melainkan Ayah dan Bundanya. Para orang tua calon murid dijajaki kesiapannya untuk bekerja sama dengan pihak sekolah. Menyamakan pandangan yang sama tentang bagaimana menangani anak ketika di sekolah maupun di rumah.

Sangat berbeda ketika kami datang mendaftar di sekolah sebelumnya. Anak kami harus dites dan belum apa-apa anak kami sudah berontak, tidak mau dites dengan segala perangkat alat tulis menulis dan lingkungan yang terasa kaku. Dia dinyatakan gagal, dan kami sebagai orang tua disarankan oleh pihak sekolah itu untuk datang ke psikolog anak.

Sebenarnya, tanpa saran itu pun jauh hari sebelumnya anak kami sudah pernah menghadapi psikolog dan didiagnosa menyandang PDD-NOS atau Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified. PDD-NOS sendiri adalah salah satu gangguan spektrum Autism. Sering dikatakan sebagai autis ringan karena secara umum tidak menampakkan perbedaan dibanding anak pada umumnya.

Dengan kondisi anak kami, mau tidak mau kami sebagai orang tua harus berupaya mencarikan sekolah yang pas dengan karakternya. Sekolah yang mempunyai kesamaan visi melihat kelebihan dan kekurangan seorang anak. Sekolah yang seluruh perangkatnya tidak menghakimi kondisi salah satu, dua atau beberapa siswa karena dianggap berbeda. Sekolah yang mampu mengembangkan potensi tersembunyi dari seorang anak.

Repot?

Hmm, saat ini tentu saya sudah melewati fase ‘dag-dig-dug’ karena anak saya sudah dinyatakan diterima di sekolah yang kami anggap pas dengan dia, tinggal menunggu hari pertama masuk pada tahun ajaran baru usai Lebaran nanti. Namun, kadang saya merasa bersimpati dengan para orang tua lainnya yang memiliki anak dengan gangguan tumbuh kembang yang lebih berat dibanding anak saya.

“Anak saya sampai sekarang belum bersekolah karena susah mencarikan sekolah yang mau menerimanya,” tutur seorang Bapak yang anaknya mengidap autisme ketika kami berbincang di ruang tunggu klinik terapi tumbuh kembang.

“Bapak sudah mencari ke mana saja?” tanya saya.

“Ada yang menyarankan ke SLB, tapi ketika saya melihat langsung di sebuah SLB, saya jadi tidak yakin anak saya cocok di sana, psikolognya bilang justru anak saya harus berbaur dengan anak-anak pada umumnya agar dia bisa berkembang dengan baik,” ujarnya.

Terus terang, hal yang dikatannya pernah saya dengar dan baca juga. Hanya saja pendidikan inklusi atau pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pengajaran yang setara dengan anak-anak lainnya di negeri ini masihlah sangat terbatas. Jikapun ada sekolah umum yang membuka program inklusi, terkadang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal si murid. Atau bisa jadi kuota bagi anak berkebutuhan khusus dibatasi sehingga ada anak-anak yang tidak mendapat kesempatan.

“Istri saya kebetulan guru di sekolah dasar. Tapi justru di sekolah itulah anak saya ditolak dan guru-guru lain yang menolak beralasan bahwa mereka tidak mau direpotkan dengan tingkah polah anak saya jika bersekolah di situ, karena mereka mesti mengawasi banyak anak lainnya. Sakit Pak dikatakan begitu, istri saya juga sedih...” ucap Bapak itu.

Memang saya bisa merasakan bagaimana perasaan Bapak itu, setidaknya ada kesamaan di antara kami. Menghadapi orang-orang di lingkungan sekitar kami sendiri terkadang cukup menguras emosi.

“Kok anakmu nggak pernah diajari baca tulis?”

“Kok anakmu sekolahnya di tempat begitu?”

“Kok anakmu dibiarkan main pasir dan tanah?”

Mungkin kalau saya tulis satu per satu pertanyaan yang diarahkan ke kami tentang anak kami, tidak cukup selesai dalam satu malam.

“Dibutuhkan orang tua tangguh untuk anak yang hebat seperti ini,” dan kata-kata yang pernah dilontarkan seseorang ini kerap terngiang sebagai penyemangat.

Sebelum kami mendaftar untuk jenjang Sekolah Dasar, anak kami telah menjalani hari-hari bersekolah di TK yang memiliki program inklusi. Meski demikian, tidak seratus persen bebas dari tatapan aneh dari orang tua murid lainnya. Tidak seratus persen pula bebas dari insiden-insiden kecil yang akhirnya menyinggung label diskriminasi terhadap anak kami.

Namun, sejauh ini, secara umum saya dan istri saya merasa bersyukur dengan perkembangannya. Apapun capaian positifnya adalah prestasi bagi anak kami. Bukan nilai-nilai di atas kertas, tapi lebih dari itu bagaimana dia berkembang memiliki bekal kemampuan yang berguna bagi hidupnya.

foto by widikurniawan
foto by widikurniawan
Terlepas dari saya yang kebetulan memiliki anak dengan label berkebutuhan khusus, sudah seharusnya setiap elemen masyarakat melek terhadap konsep pendidikan yang benar-benar mendidik anak untuk berkembang utuh menjadi manusia. Bukan konsep pendidikan yang menitikberatkan angka-angka menawan di atas buku laporan.

Menjadikan anak-anak kita sebagai insan yang bermoral, jujur, cerdas dan mulia tentu tidak bisa berhasil hanya dari memaksa mereka untuk membaca buku dan menghapalnya tiap hari. Bukan pula dengan sekedar menyerahkannya ke lembaga-lembaga penyedia bimbingan belajar tambahan di luar jam sekolah.

Pendidikan sejatinya adalah tanggung jawab bersama, dari mulai pemerintah, masyarakat, orang tua hingga sekolah. Itulah yang saya pahami dari konsep pendidikan sebagai gerakan semesta. Namun, melihat kenyataan sekeliling, saya merasakan bahwa gerakan semesta mesti diperjuangkan lebih lanjut.

Bagaimana tidak? Ketika stigma negatif masih berlaku bagi anak berkebutuhan khusus misalnya. Diskriminasi ini jelas tidak sehat dan melanggar hak setiap anak untuk mendapatkan pengajaran yang layak dan setara.

Gerakan ini juga akan menemui hambatan apabila para orang tua menyerahkan begitu saja urusan belajar mengajar pada pihak sekolah. Padahal sejatinya pendidikan adalah tanggung jawab utama keluarga, dalam hal ini adalah orang tua. Akhirnya muncul sekolah-sekolah yang semata menjual fasilitas dan label unggulan tapi melupakan akar dari sebuah pendidikan, yakni peran keluarga.

Sebagai penutup tulisan ini, saya kembali teringat pernyataan pihak sekolah dasar dalam satu kesempatan wawancara seperti yang saya singgung di awal tulisan.

“Sekolah ini adalah sekolah komunitas, jadi jika ananda diterima nanti, Ayah dan Bunda nantinya juga sebagai pemilik sekolah ini, bukan semata yayasan atau pihak tertentu. Orang tua tetap bertanggungjawab pada pendidikan anaknya, jadi memang diperlukan kerjasama yang baik di antara sekolah dan orang tua,” demikian pernyataannya.

Dan semoga saja kami benar-benar bisa menerapkan hal yang terbaik bagi pendidikan anak kami, meskipun anak kami harus bersekolah di sekolah "kandang ayam".

pendidikan1-5749d6702cb0bdcc0ab9bd95.jpg
pendidikan1-5749d6702cb0bdcc0ab9bd95.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun