Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akhirnya, Anakku Diterima di Sekolah "Kandang Ayam"

29 Mei 2016   00:45 Diperbarui: 29 Mei 2016   11:11 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hmm, saat ini tentu saya sudah melewati fase ‘dag-dig-dug’ karena anak saya sudah dinyatakan diterima di sekolah yang kami anggap pas dengan dia, tinggal menunggu hari pertama masuk pada tahun ajaran baru usai Lebaran nanti. Namun, kadang saya merasa bersimpati dengan para orang tua lainnya yang memiliki anak dengan gangguan tumbuh kembang yang lebih berat dibanding anak saya.

“Anak saya sampai sekarang belum bersekolah karena susah mencarikan sekolah yang mau menerimanya,” tutur seorang Bapak yang anaknya mengidap autisme ketika kami berbincang di ruang tunggu klinik terapi tumbuh kembang.

“Bapak sudah mencari ke mana saja?” tanya saya.

“Ada yang menyarankan ke SLB, tapi ketika saya melihat langsung di sebuah SLB, saya jadi tidak yakin anak saya cocok di sana, psikolognya bilang justru anak saya harus berbaur dengan anak-anak pada umumnya agar dia bisa berkembang dengan baik,” ujarnya.

Terus terang, hal yang dikatannya pernah saya dengar dan baca juga. Hanya saja pendidikan inklusi atau pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pengajaran yang setara dengan anak-anak lainnya di negeri ini masihlah sangat terbatas. Jikapun ada sekolah umum yang membuka program inklusi, terkadang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal si murid. Atau bisa jadi kuota bagi anak berkebutuhan khusus dibatasi sehingga ada anak-anak yang tidak mendapat kesempatan.

“Istri saya kebetulan guru di sekolah dasar. Tapi justru di sekolah itulah anak saya ditolak dan guru-guru lain yang menolak beralasan bahwa mereka tidak mau direpotkan dengan tingkah polah anak saya jika bersekolah di situ, karena mereka mesti mengawasi banyak anak lainnya. Sakit Pak dikatakan begitu, istri saya juga sedih...” ucap Bapak itu.

Memang saya bisa merasakan bagaimana perasaan Bapak itu, setidaknya ada kesamaan di antara kami. Menghadapi orang-orang di lingkungan sekitar kami sendiri terkadang cukup menguras emosi.

“Kok anakmu nggak pernah diajari baca tulis?”

“Kok anakmu sekolahnya di tempat begitu?”

“Kok anakmu dibiarkan main pasir dan tanah?”

Mungkin kalau saya tulis satu per satu pertanyaan yang diarahkan ke kami tentang anak kami, tidak cukup selesai dalam satu malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun