[caption id="attachment_374726" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"][/caption]
Sekelompok anak-anak berusia kisaran 10 tahunan tampak tergesa-gesa berjalan sambil membawa buku catatan. Seseorang di antaranya menunjuk ke sebuah arah sambil mengajak rekan-rekannya.
“Ayo habis ini kita ke sana, kita belum ke Kalimantan Barat,” cetus anak perempuan berambut sebahu itu.
“Iya, pokoknya kita harus berhasil kunjungi seluruh provinsi,” timpal yang lainnya.
Saya yang berpapasan dengan rombongan kecil itu hampir saja tertabrak tubuh salah seorang dari mereka. Terasa benar anak-anak itu bersemangat untuk menjelajahi “seluruh Indonesia”.
Cuaca hari itu, Sabtu 21/3/2015 siang, untungnya cukup cerah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Sehingga wajah-wajah pengunjung juga memancarkan aura ceria saat menjelajahi isi Indonesia di TMII. Mereka datang berombongan dengan bus besar, kendaraan pribadi hingga menyewa angkot, ada pula yang naik kendaraan umum. Ada rombongan sekolah dari PAUD hingga SMA, ada grup anak kuliahan, grup karyawan hingga keluarga. Sedangkan saya saat itu hanya berdua dengan anak lelaki saya.
“Ayah, ayo kita ke rumah Aceh,” celetuk anak saya yang baru berumur lima tahun.
Rupanya rumah Aceh sangat membuatnya terkesan ketika sebelumnya saya pernah mengenalkannya di sebuah buku Atlas Indonesia dan Dunia. Makanya ia pun sangat antusias ketika saya berkata bahwa ada rumah adat Aceh di TMII.
Kami pun mengunjungi anjungan Provinsi Aceh yang begitu elok dengan rumah-rumah tradisional serta pesawat Indonesian Airways yang terparkir sebagai monumen bersejarah. Tertulis pada badan pesawat Dakota RI-001 itu sebuah kalimat “Sumbangan Rakjat Atjeh”. Inilah pesawat cikal bakal penerbangan niaga pertama di Indonesia yang dibeli dari kumpulan sumbangan rakyat Aceh pada era Presiden Soekarno. Sebuah tonggak penanda sejarah penting awal kemajuan Indonesia yang didorong peran serta rakyat Aceh.
[caption id="attachment_374727" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Terus terang, mengunjungi TMII untuk kali kedua dalam hidup saya, setelah pertama dulu masih anak ingusan dan kini telah membawa anak, membuat saya berdecak kagum dan seolah inilah pengalaman pertama saya datang ke TMII. Sebelumnya saya sempat berpikir bahwa wajah TMII akan menua seiring usia yang menuju genap 40 tahun. Tapi apa yang saya lihat membuktikan sebaliknya, TMII ini sungguh menakjubkan dan layak dikunjungi oleh siapapun yang mengaku orang Indonesia.
“Orang-orang dari mana saja sudah datang ke sini, apalagi kalau musim liburan sekolah. Biasanya dari Bali, Sulawesi, Sumatera dari mana saja lah, ramai pokoknya,” tutur Pak Sudaryono, tukang ojek yang menyewakan motornya kepada saya untuk alat berkeliling TMII.
“Mereka suka ke sini karena kalau sudah datang rasanya sudah kayak keliling Indonesia. Namanya juga miniatur Indonesia, Taman Mini yang diatur-atur biar pengunjung senang bisa merasakan Indonesia, hehe…” lanjutnya sambil terkekeh.
Melihat sosok seperti Pak Sudaryono, saya yakin ia telah cukup lama mencari nafkah di TMII. Terlihat dari gaya bicaranya dan semangatnya, pastilah ia bukan orang baru di sini.
“Sudah sejak 1995 Mas saya di sini, dulu sempat jaga mainan anak-anak di sana, lalu ngojek, sekarang ngojek sambil nyewain motor. Biasanya yang punya usaha begini di sini motornya ngredit, tapi saya sudah lunas. Anak saya juga sudah lulus kuliah semua Mas,” cerocosnya.
Wow, bagi saya inilah nilai plus dari taman wisata tersohor bernama TMII. Pengelola TMII juga mengakomodir orang-orang seperti Pak Sudaryono untuk mencari nafkah di lingkungan taman, tentu saja dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Selain tukang ojek, ada pula yang buka usaha persewaan sepeda, tukang parkir, hingga para pedagang asongan yang telah terdaftar resmi, terlihat dari seragam yang mereka kenakan.
Kehadiran mereka tidaklah mengganggu pengunjung, justru malah membantu. Mereka tidak pelit untuk sekedar menunjukkan arah atau malah menjadi teman bercerita tentang taman tersebut.
“Saya senang di sini bisa ketemu orang-orang dari mana saja, seluruh Indonesia,” kata Pak Sudaryono.
Sebuah kalimat sederhana dari seorang tukang ojek yang bermakna mendalam, bahwa ia sangat bangga dan cinta Indonesia. Ia bangga bisa bertemu dengan orang dari segala penjuru Indonesia. Ia pun tak segan menyanjung jasa almarhumah Siti Hartinah atau Ibu Tien Soeharto sebagai pencetus ide dibangunnya TMII.
“Kalau nggak ada Bu Tien mungkin nggak ada Taman Mini, Mas,” tutur Pak Sudaryono spontan, saat saya menyinggung bahwa TMII identik dengan Ibu Tien.
Sebuah gagasan yang telah terwujud tetapi harus terus dirawat dan dikembangkan oleh generasi-generasi saat ini. Konsep TMII yang menghadirkan anjungan-anjungan dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia adalah gambaran betapa bangsa ini terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya. Merekalah yang membentuk Indonesia dengan semangat persatuan yang tumbuh sejak masa silam.
[caption id="attachment_374728" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Salah satu tempat di TMII yang keberadaannya baru saya ketahui adalah Taman Budaya Tionghoa. Sekali lagi saya harus angkat topi untuk gagasan menciptakan taman ini. Inilah bukti bahwa Indonesia merangkul beragam etnis dan budaya, termasuk orang Tionghoa yang nyatanya selama ini telah hadir di negeri ini selama ribuan tahun silam dan bersama-sama membangun bangsa Indonesia.
Di taman ini berdiri kokoh patung pahlawan nasional bernama Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie atau Jahja Daniel Dharma, seorang Tionghoa yang selama masa perjuangan berada di barisan depan Angkalan Laut untuk menghalau kapal-kapal penjajah.
[caption id="attachment_374729" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, tapi sekaligus kekuatan bangsa ini. Toleransi adalah kunci untuk tetap berjalan beriringan dalam perbedaan. Gambaran toleransi di Indonesia salah satunya mewujud dalam bangunan-bangunan keagamaan di TMII yang berdiri berdampingan.
Sebagai orang tua, saya merasa bersyukur bisa menunjukkan pada anak saya secara langsung bangunan tempat ibadah agama-agama yang resmi di Indonesia, tidak hanya melalui buku atau film. Menanamkan pengetahuan sejak dini tentang keberadaan agama-agama selain yang kami anut, bagi saya penting supaya anak paham dan tumbuh sikap menghormati satu sama lain.
“Itu namanya kelenteng Nak, tempat ibadah agama Khonghucu,” tutur saya ketika kami berhenti sejenak di depan Kelenteng Kong Miao yang sedang ramai dikunjungi oleh wisatawan asing yang tengah berfoto.
[caption id="attachment_374730" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Saya sadar bila di usianya saat ini, anak saya tidak bisa dipaksa belajar layaknya anak yang lebih dewasa. Mengajak jalan-jalan ke tempat seperti TMII inilah justru saya anggap baik untuknya karena sesungguhnya dia sedang belajar dengan cara yang menyenangkan. Saya pun harus bersyukur bahwa untuk mengenalkan Indonesia kepada anak tidak harus membawanya berkeliling satu demi satu pulau di Indonesia yang sangat luar biasa luas, melainkan cukup dengan berkeliling di TMII.
Dalam istilah saya, mengajak anak ke TMII adalah salah satu cara saya memupuk Indonesia dalam dirinya. Menabur benih-benih kebangsaan yang kelak akan ia petik sendiri saat mengarungi kehidupan sebagai orang Indonesia.
“Aku mau keliling dunia, aku mau keliling Indonesia,” inilah tekadnya yang selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan.
[caption id="attachment_374731" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Negeri ini memang terdiri dari pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh lautan dan nyatanya kita bersatu sebagai satu bangsa. Melihat miniatur kepulauan nusantara dari atas kereta gantung membuat saya berpikir seperti itu. Hebat negeri ini, sungguh. Hamparan pulau-pulau dan bentangan lautan nusantara adalah modal kita bersama. Kekayaan yang harus kita jaga dan manfaatkan sebesar-besarnya.
Kekayaan dan keindahan alam nusantara ditunjukkan di TMII melalui taman-taman bertema khusus seperti Taman Burung, Taman Apotik Hidup, Taman Kaktus, Taman Anggrek hingga Taman Melati. Ragam flora dan fauna di taman-taman tersebut seolah mengetuk hati bahwa alam nusantara adalah harta yang tak terkira. Inilah warisan pada anak cucu kelak yang harus kita lestarikan.
[caption id="attachment_374732" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Tidak hanya modal berupa kekayaan alam, TMII juga menunjukkan semangat bangsa ini berkiprah di segala bidang dengan segala inovasinya. Terdapat beberapa museum yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu bersaing dengan dunia.
Tengoklah di Museum Listrik dan Energi Baru, dari namanya saja sudah memperlihatkan bahwa Indonesia tidak akan berjalan di tempat ketika listrik telah tersedia. Namun, lebih dari itu inovasi-inovasi mesti terus digali untuk menghasilkan beragam energi baru yang akan dimanfaatkan untuk segala kebutuhan. Salah satu contoh paling nyata adalah kehadiran mobil listrik yang diparkir di halaman museum.
[caption id="attachment_374733" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Karya anak bangsa lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dapat dilihat di Museum Minyak dan Gas Bumi, Museum Telekomunikasi, Museum Penerangan, Museum Transportasi hingga Museum Olahraga Nasional.
Bahkan di TMII terdapat sarana transportasi massal yang belum ada padanannya di kota-kota Indonesia, yakni disebut Aeromovel atau Titihan Samirono. Kendaraan ini berbentuk kereta dan berjalan di atas rel mirip bayangan kita terhadap monorail yang hingga kini masih menjadi angan-angan Indonesia. Saya pun sempat mencicipi Aeromovel berjalan di atas jalur layang mengitari TMII dari ketinggian sekitar enam meter.
Kendaraan ini menggunakan tenaga atau tenaga dorong-hisap udara sebagai penggerak. Jika saja kendaraan dengan teknologi serupa bisa diaplikasikan di kota-kota Indonesia, pasti akan membawa banyak manfaat kemajuan bangsa. Saya bisa menyebut bahwa kehadiran Aeromovel di TMII adalah salah satu simbol cita-cita Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan modern.
[caption id="attachment_374734" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Kesimpulan yang sama saat saya melihat keberadaan Teater IMAX Keong Emas yang begitu terkenal itu. Teater dengan layar raksasa yang selama ini telah berjasa menayangkan film-film dengan muatan pendidikan dan budaya sebagai salah satu media komunikasi berselera modern.
Tentu saja hal-hal tersebut wajib kita rawat dan terus dikembangkan. Inspirasi dari TMII adalah bagaimana kita bisa merawat Indonesia, berkiprah mewujudkan karya-karya nyata dengan berpijak pada budaya warisan nenek moyang kita serta alam yang tersedia.
TMII adalah penyemangat sekaligus kebanggaan. Tatkala saya melihat sepasang turis asing yang tengah memandang takjub pada bangunan rumah adat Batak Toba, ada sebongkah kebanggaan melihat kekaguman mereka, meskipun saya bukan berasal dari daerah Sumatera Utara. Saya bangga karya saudara-saudara saya dari seluruh Indonesia dikagumi dan dihargai.
[caption id="attachment_374735" align="aligncenter" width="600" caption="Foto by widikurniawan"]
Saat seperti inilah saya teringat bait-bait indah ciptaan Ismail Marzuki dalam mahakarya bertajuk “Indonesia Pusaka”.
Indonesia Tanah Air Beta
Pusaka Abadi Nan Jaya
Indonesia Sejak Dulu Kala
Tetap Dipuja-Puja Bangsa…
Bait yang syahdu menyeruakkan rasa kebanggaan. Sama halnya kebanggaan saya yang muncul begitu sajasaat melihat ratusan hingga ribuan orang datang tiap saat ke TMII demi mengenal Indonesia lebih dekat. Bahkan menjelang sore, masih ada saja rombongan besar yang berdatangan ke TMII.
“Ayo anak-anak, jalannya jangan terpisah ya, kita akan jelajahi Indonesia bersama-sama!” itulah komando seorang pemimpin rombongan yang baru datang, sepertinya ia adalah guru mereka.
“Iya, Bu Guruuu…!” sahut rombongan anak-anak itu serempak.
Rupanya guru-guru itu pun sedang memupuk Indonesia dalam diri anak-anak didiknya. Mereka datang ke tempat yang tepat, TMII. Tempat untuk menunjukkan ragam budaya direkatkan dalam semangat persatuan dan toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H