Hidup adalah perjuangan. Ya memang benar seperti itu. Disetiap kesempatan dan perjalanan hidup kita di dunia ini, sadar tidak sadar kita selalu berjuang untuk terus bertahan dan tetap dapat melanjutkan hari hari kita berikutnya.
Tidak jarang demi hidup yang lebih baik, orang rela berjubel antri untuk mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Ketika sudah bekerja pun masih dihadapkan dengan kondisi yang sama, terus berjuang untuk menjadi terbaik, atau minimal tidak dipecat dan diberhentikan paksa dari kantor. Orang yang tinggal di Ibukota berjuang ditengah kemacetan untuk tetap rutin pagi-sore berangkat dan pulang kantor demi hidupnya.
Intinya adalah apapun itu, manusia ini selalu berusaha, berjuang dengan caranya masing-masing. Entah bagaimana caranya itu. Bahkan pengemispun, tidak kita pungkiri selalu berjuang demi mendapatkan iba dan mendapatkan koin-koin receh di pinggir jalan.
Beberapa hari terakhir ini kita disibukkan dengan kematian seorang pembalap MotoGP Marco Simoncelli. Itu pun menurut saya dia juga berjuang bersaing untuk mendapatkan podium pertama di Sepang Malaysia.
Beberapa dari kita di dunia ini ada yang tidak tahan dan mengakhiri perjuangan tersebut sepihak. Dengan bunuh diri atau merusak hidupnya dengan narkoba, perbuatan-perbuatan yang melanggar norma dan asusila. Nah, dalam konteks ini muncul banyak penafsiran. Apakah orang-orang ini benar-benar ingin mengakhiri perjuangan hidupnya, atau dia hanya mencari perhatian supaya perjuangan hidupnya dilihat orang dan mendapatkan uluran bantuan baik itu psikis maupun materiil.
Bunuh diri juga dijadikan alternatif di beberapa dari manusia di dunia ini untuk mengakhiri waktu atau jam perjuangan hidupnya. Dia mau memberhentikan waktu dan time line hidupnya karena merasa sudah tidak sanggup lagi. Depresi yang terlalu dalam, kesalahan yang terlalu fatal dan traumatik, serta perasaan bersalah yang tidak kunjung hilang, memicu untuk mengakhiri time line hidupnya. Berharap penderitaan itu segera selesai.
Di beberapa kasus, terjadi keanehan. Perjuangan manusia dalam hidupnya seolah olah sudah maksimal dan sudah bisa dipastikan untuk berhasil. Namun Sang Empunya Waktu berkata lain, perjuangan itu belum berakhir. Atau malah berakhir dengan waktu yang berbeda dan tidak sesuai dengan harapan/prediksi.
Sebagai contoh sederhana saja, Simoncelli diharapkan bisa mencapai finish di podium pertama, atau minimal di 10 besar. Dah itu bukan sesuatu yang aneh karena begitulah dunia balap MotoGP. Incaran pembalap adalah finish di podium atau masuk 10 besar. Simoncelli saya rasa pasti mempunya tujuan itu, dan dia berjuang untuk tujuan tersebut menurut estimasi dan waktu miliknya.
Sang Empunya Waktu berkata lain, time-line perjuangan Marco Simoncelli berakhir sudah. Hanya sampai di lap kedua. Dan semua perjuangan dan plan plan Marco habis sudah. Tidak berbekas. Hebat bukan?
WaktuNya bukan waktu kita. Ya itu benar. Di beberapa kesempatan sering juga terjadi pada diri kita. Ketika kita berharap tahun depan ada kenaikan gaji, ternyata tidak terjadi sama sekali. Rencana-rencana untuk membeli sesuatu ini dan itu tiba tiba gagal ketika terjadi krisis ekonomi.
Sama juga ketika ada sepasang pengantin akan melangsungkan pernikahan. Sudah direncanakan dengan matang jauh hari sebelumnya, namun ketika hari H, salah satu pasangan terjadi kecelakaan dan meninggal dunia. Tragis memang, namun itulah WaktuNya. Waktu menurut Sang Empunya Waktu.
Dia yang cenderung absolut itu terkadang berada di luar prediksi dan rencana kita. Bahkan ketika jam kita telah kita atur sedemikian rupa untuk mengantisipasi hal hal yang terburuk sekalipun, Jam Nya selalu tampak lebih unggul. Lebih powerfull. Lebih ampuh dan lebih dahsyat.
WaktuNya bukan waktu kita, berusaha sebaik mungkin itu baik, namun mengandalkan kemampuan dan waktu kita sendiri itu bukan solusi yang tepat. Jangan sombong mentang-mentang punya kuasa dan kemampuan ini itu. Karena mungkin, WaktuNya adalah hari ini terakhir kita masih berada di dunia. Bisa jadi begitu kan?
Bersyukurlah untuk hari ini, karena hari ini anugerah. Belajarlah dari hari kemarin karena kemarin adalah sejarah. Dan berharaplah akan hari esok karena hari esok adalah masa depan.
Salam Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H