28 September 2018, mutiara khatulistiwa terkoyak, diguncang gempa 7,4 SR. Saya yang berdinas di Kabupaten Boalemo, sekitar 540 km dari pusat gempa pun merasakan gempa tersebut. Tidak keras memang, namun terasa dan cukup lama. Saat gempa, saya sedang sholat magrib di mesjid. Sujud rakaat kedua tepatnya gempa pertama kali terasa, awalnya saya berpikir bahwa saya sedang pusing atau sakit kepala. Namun saya sadar saat duduk, bahwa ini gempa. Bimbang sesaat saat akan melanjutkan ke rakaat ketiga, namun tetap saya lanjutkan hingga selesai. Tidak lama selesai sholat, gempa sudah mereda, pikiran saya langsung membayangkan keluarga di rumah. Langsung selesai dzikir dan doa singkat, saya bergegas ke rumah, tidak seperti bayangan saya, ternyata istri tidak tahu kalau barusan ada gempa. Mungkin karena istri dan anak-anak di atas kasur jadi guncang gempa tidak begitu terasa.
Breaking news pun mengudara di berbagai stasiun TV, benar saja yang barusan saya rasakan adalah gempa yang cukup besar. 7,4 SR dengan pusat gempa di Donggala, Sulawesi Tengah. Peringatan dini tsunami pun diaktifkan, namun tidak lama dihentikan.
Lebih cepat daripada breaking news, video lewat WAG sudah bertebaran. Dan parah memang, bahkan tsunami pun cukup tinggi, sekitar 5 meter perkiraan saya jika dilihat dari video. Namun demikian, video gempa palu semakin banyak dan bervariasi, miris dan sedih melihatnya.Â
Besok harinya ada video yang menampilkan rumah jalan, saya pikir awalnya karena tsunami ternyata bukan. Likuifaksi. Istilah baru bagi saya yang awam. Peristiwa likuifaksi itulah yang membuat rumah yang ada di video saya tonton berjalan.
Saya pikir kengerian gempa palu sudah selesai sampai rumah berjalan itu saja, tetapi tidak. Likuifaksi jauh lebih mengerikan dari pada perkiraan saya.Â
Bagaimana tidak, dulu saya mengenal istilah "hilang ditelan bumi" sepertinya hanya ungkapan kiasan saja, di palu hal ini benar-benar terjadi. Bukan hanya orang, rumah beserta isinya pun ditelan utuh.Â
Memang benar bencana di Palu dan sekitarnya sangat unik, beda dan mengerikan.
Belum selesai cerita mengerikan tentang gempa, tsunami dan likuifaksi berakhir, berderet cerita sebab musabab bencana tersebut banyak beredar.Â
Nomoni, sebuah tradisi yang katanya mengandung syirik, disebut salah satu penyebabnya. Ada juga cerita kemaksiatan yang dilakukan penduduk di wilayah terdampak parah, mulai dari perjudian, minuman keras dan perzinahan, yang memicu azab.
Ramai dibahas sebab dari bencana tersebut, para pakar keilmuan geologi pun tidak mau ketinggalan. Para pakar menjelaskan sebab bencana Palu, mulai dari posisi lempeng sesar palu koro, yang membelah palu hingga ke lembah popikoro. Sesar palu koro sendiri membentang 500 km dari selat Makassar sampai pantai Utara Teluk Bone.
Sesar palu koro merupakan salah satu sesar yang paling aktif, dengan pegerakan sampai 44 mm pertahun, inilah yang menyebabkan Palu rawan gempa.
Tsunami yang terjadi di Palu tidak kalah menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini karena salah satu syarat terjadinya tsunami adalah pergerakan patahan gempa yang vertikal, namun sesar palu koro sendiri merupakan patahan horizontal.Â
Dengan berbagai asumsi dan kondisi air tsunami saat menerjang daratan, BNPB memperkirakan sebab tsunami dikarenakan longsoran sendimen di dasar laut. Benar saja, 2 Minggu setelah kejadian KRI Sipca menemukan longsoran di kedalam 200-500 meter di tanjung labuan/wani, teluk palu.Â
Lalu, peristiwa likuifaksi yang begitu mengerikan, para ahli pun menjelaskan dengan gamblang. Peristiwa itu terjadi akibat tanah kehilangan daya ikat, sehingga tanah menjadi cair. Hal inilah yang membuat bangunan yang ada diatasnya terlihat berjalan, bahkan ada yang tenggelam tanah yang berubah menjadi lumpur.
Kurang lebih seperti itulah penjelasan sebab musabab terjadinya bencana Palu. Yang satu penjelasan berdasarkan keyakinan dan lainnya berdasarkan keilmuan. Namun demikian penjelasan tersebut bukanlah untuk diperdebatkan, ada hal penting yang perlu segera dibenahi berkaca dari bencana Palu tersebut.
Pertama, masyarakat sepertinya masih gagap saat bencana terjadi. Diluar begitu dahsyatnya bencana, diakui atau tidak, ketidaksiapan masyarakat terlihat pada bencana ini.Â
Bagaimana bertindak saat gempa di dalam atau di luar ruangan, harus kemana saat di pantai terjadi gempa, dan juga cara pertolongan pertama korban, serta hal-hal lain yang diperlukan saat bencana terjadi, harus disosialisasikan lebih intens.Â
Jumlah korban per 21 Oktober 2018 sudah berjumlah 2.113 jiwa dan angka ini masih akan bertambah, bukan jumlah yang sedikit. Dengan kesigapan masyarakat yang lebih matang dan mitigasi yang tersosialisasi dengan baik, diharapkan jumlah korban pada bencana kedepannya dapat diminimalisir.
Kedua, penanganan pasca bencana harus cepat, tepat dan efektif. Dalam bencana di Palu dan sekitarnya terlihat bantuan datang tidak segera datang, memang benar faktor infrastruktur, jalan terutama menjadi penghambat penyaluran bantuan.Â
Namun demikian ketersediaan bahan pangan, sandang dan papan dalam kondisi darurat, rasanya masih belum siap sedia. Dana cadangan bencana pun disebut-sebut belum ideal.Â
Telatnya bantuan membuat keadaan makin parah, aksi penjarahan pun tak terelakkan, malah keadaan ini dimanfaatkan sekelompok orang jahat dengan menjarah barang-barang mewah.Â
Belum lagi bantua  dari masyarakat ada yang tidak sampau tujuan, entah karena khianatnya si penyalur bantuan, atau pun habis diminta  di jalan.Â
Ditengah carut marut soal bantuan, terselip cerita lucu, dimana bantuan pakaian yang disalurkan kebanyakan pakaian wanita, sehingga membuat para bapak mau tidak mau memakai daster.
Ketiga, pengadaan dan pemeliharaan alat dan fasilitas terkait bencana masih kurang. Buoy, alat pendeteksi tsunami yang harga miliaran rupiah hanya terbatas jumlahnya, untuk kasus di Palu, menurut Kepala BIG di Palu memang tidak ada buoy, yang ada alat pengukur pasang surut yang mengandalkan jaringan listrik. Demikian sebagai negara kepulauan sudah sepatutnya, memiliki buoy di banyak titik, dan pemeliharaannya juga dilakukan rutin.Â
Selain itu penunjuk arah saat kondisi darurat lebih diperbanyak dan jelas. Hal ini guna mengantisipasi korban lebih banyak karena kepanikan yang terjadi.
Demikian, saya berharap kedepannya kita lebih siap dalam menghadapi bencana sehingga kedepannya jumlah korban berjatuhan dapat diminimalisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H