Mohon tunggu...
Widi Handoko
Widi Handoko Mohon Tunggu... Konsultan - Statistisi Ahli Muda

Data untuk kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman Ikut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017

30 November 2017   16:35 Diperbarui: 30 November 2017   17:15 4019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan sigap saya pun langsung melakukan wawancara dengan bapaknya yang ternyata merupakan suami respoden. Pertama kali saya wawancara dengan kuesioner rumah tangga (RT), saat wawancara respodennya meminta cepat-cepat dengan nada agak tinggi. Terbayang dipikiran saya bagaimana mau wawancara kuesioner PK, kuesioner RT yang pertanyaan umum saja sudah seperti ini. 

Mau tak mau setelah kuesioner RT selesai saya pun meminta kesediaan responden untuk diwawancarai dengan kuesioner PK, "Aduh apalagi ini!" begitu sahutnya. Dengan bersusah payah meyakinkan bahwa wawancara sangat dibutuhkan dan memohon dengan sangat akhirnya responden bersedia diwawancarai. "Ya sudah, tetapi yang cepat ya! Saya lagi buru-buru!", begitu mintanya. Wawancara pun dimulai, pertanyaan baru beberapa rincian respondennya pun sudah tidak sabar,"Sudah isi saja tahu semua!  Ya semua!", bentaknya. Namun demi menjaga isian yang benar saya tetap bertanya satu persatu pertanyaan sesuai alur.

Di tengah intogerasi responden kepada saya, eh salah, wawancara saya dengan responden. Datang kortim, namun dengan suasana yang sangat tidak mendukung, dengan berat hati saya mengusirnya dengan halus. Jangan sampai berhenti wawancara di tengah jalan walau hanya sebentar, kalau terhenti, bisa-bisa wawancara disudahi responden.

Lega, layaknya orang yang menahan buang air dalam waktu lama dan baru bisa melaksanakan hajat saat-saat sudah di ujung tanduk, J kurang lebih begitu perasaan saya saat selesai wawancara dengan responden tersebut. Kembali ke basecamp menjadi pilihan saya setelah wawancara tersebut, selain sudah dekat waktu dzuhur dan melaporkan hasil wawancara kepada kortim, menghilangkan penat juga menjadi alasan utama saya.

Tidak hanya terkena sampel PK, istri responden tadi juga terkena sampel WUS. Hari sudah sore, teman tim pencacah WUS mendatangi responden tersebut. Sangat tidak ramah, begitu teman mengambarkan suami responden,"Samakan saja isiannya dengan yang tadi siang!" teman mengulangi perkataan responden. Non respon hasil yang didapat teman saat berusaha mencacah istri responden tersebut, suami responden menolak dan menandatangani berita acara penolakan.

BS berganti BS, kejadian yang paling membekas dari SDKI pun saya rasakan. Membekas karena memang benar-benar membekas di tubuh, meninggalkan tanda, tanda yang akan bertahan sangat lama dan tanda yang terlihat jelas mata. Tanda itu adalah bekas luka kena knalpot.

Sore itu pulang dari BS kelima yang kami datangi, setelah hujan deras, melewati perkebunan tebu sejauh mata memandang. Jalan yang pagi hari kami lewati, kondisinya tidak sama saat sore hari. Becek, berlumpur dan licin begitulah kondisi jalan di banyak titik sore itu. Pada salah satu titik jalan, jalannya menurun dengan kondisi becek, berlumpur dan licin, saya yang menggonceng Bu Dewi sudah ragu untuk melewati titik tersebut dengan menggonceng. 

Saya berhenti dan memintanya untuk turun dahulu, nanti naik lagi saat sudah melewati turunan. Beliau tidak mau turun dan berkata "tidak apa-apa, jalan saja pelan-pelan". Akhirnya saya pun melanjutkan perjalanan melewati jalan menurun tersebut dengan menggonceng, di tengah turunan tersebut motor tidak bisa dikendalikan lajunya, rem sudah diinjak namun motor tetap melaju, motor pun oleng.

Malam hari sebelumnya di salah satu titik jalan pulang, tepatnya jalan darurat  pengganti jembatan yang sedang diperbaiki  saya hampir jatuh. Jalan yang pagi hari masih bagus untuk dilewati tidak disangka sudah seperti kubangan lumpur, dengan laju motor yang tidak pelan dan kondisi jalan gelap gulita tanpa penerangan, motor saya oleng hampir jatuh. Beruntung kaki dan tangan saya masih sigap untuk menstabilkan motor. Sakit, rasa pada tangan kiri  baru saya sadari ketika di rumah, tangan kiri saya terkilir.

Kondisi tangan kiri masih sakit saat membonceng membuat saya tidak kuat untuk menstabilkan motor saat oleng diturunan itu. Akhirnya motor pun jatuh, untungnya jalan berlumpur membuat badan tidak terlalu sakit saat jatuh. Namun, ternyata kaki saya kena knalpot panas dan membuat luka bakar yang cukup besar. Perih dan sakit saya rasakan, tetapi tidak menyurutkan semangat, justru menjadi warna tersendiri dalam pengalaman mengikuti SDKI. Warna yang cukup mencolok di kaki. J

Lain Desa lain Kota, tantangan yang dihadapi berbeda. Pada daerah perdesaan kami dihadapkan dengan kesulitan geografis, fasilitas dan konektivitas, dengan responden yang ramah dan 'welcome', sebaliknya di daerah perkotaan hambatannya justru pada respondennya. Entah sulit ditemui atau penerimaan yang tidak baik, responden yang sebelumnya saya ceritakan pun merupakan sampel perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun