Mohon tunggu...
Widia WinataPutri
Widia WinataPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI SI AKUNTANSI | NIM 43223010201

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bolagna

21 November 2024   20:14 Diperbarui: 21 November 2024   20:14 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu Korupsi?

Korupsi berasal dari Bahasa latin yaitu Corruptus dan Corruption, artinya buruk, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah. 

Dalam Black Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK, Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenarankebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenarankebenaran lainnya.

 Artikel ini akan membahas mengenai Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Berdasarkan pendekatan Robert Klitgaard dan Teori GONE oleh Jack Bologna

Korupsi merupakan permasalahan kronis di Indonesia yang telah menghambat kemajuan negara dalam berbagai sektor. Salah satu kasus besar yang mencerminkan kompleksitas korupsi di Indonesia adalah proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). 

Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun. Untuk memahami akar penyebab korupsi dan bagaimana cara mengatasinya, pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna dapat digunakan sebagai kerangka analisis.

Apa yang menjadi penyebab utama dari adanya korupsi di Indonesia?

Pertama, lemahnya integritas individu menjadi faktor utama. Banyak pejabat atau pegawai yang mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan umum. Kedua, budaya permisif di masyarakat turut memperparah korupsi. Praktik seperti suap dianggap wajar untuk mempermudah urusan. 

Ketiga, sistem birokrasi yang rumit dan berbelit membuka peluang bagi tindak korupsi, karena masyarakat sering merasa terpaksa memberikan uang pelicin agar urusannya cepat selesai. Keempat, lemahnya penegakan hukum juga menjadi penyebab utama. 

Hukuman yang ringan atau tidak konsisten membuat pelaku korupsi tidak jera. Selain itu, pengawasan yang kurang efektif pada instansi pemerintahan memungkinkan penyalahgunaan wewenang. Kelima, faktor politik juga berpengaruh, di mana biaya tinggi dalam kampanye politik sering kali mendorong pejabat terpilih mencari cara untuk "mengembalikan modal" melalui korupsi. 

Terakhir, pendidikan anti-korupsi yang belum merata membuat masyarakat kurang sadar akan bahaya korupsi. Hal ini menciptakan lingkungan yang subur bagi praktik tersebut. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan reformasi menyeluruh pada sistem hukum, pendidikan, birokrasi, dan budaya masyarakat agar tercipta pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Pertama akan membahas Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Berdasarkan Pendekatan Robert Klitgaard

Korupsi merupakan salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan di Indonesia. Berbagai kasus yang terungkap, seperti korupsi proyek e-KTP, BLBI, dan Dana Bansos, menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya disebabkan oleh individu, tetapi juga oleh sistem yang mendukungnya. Robert Klitgaard, seorang ahli ekonomi politik, mengembangkan model untuk menjelaskan penyebab korupsi secara sistematis melalui formula : C = M + D - A

What: Apa yang Dimaksud dengan Korupsi melalui Pendekatan Robert Klitgaard?

Pendekatan Robert Klitgaard memberikan kerangka sistemik untuk memahami korupsi:

  • Monopoli (M): Korupsi dapat terjadi ketika kekuasaan terpusat di tangan individu atau kelompok tertentu tanpa adanya kompetisi/curang. Misalnya, lembaga atau individu yang memegang monopoli atas keputusan penting sering menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi dan merugikan Masyarakat.
  • Diskresi (D): Kewenangan luas yang diberikan kepada pejabat tanpa pengawasan ketat dapat memicu korupsi. Hal ini memungkinkan mereka membuat keputusan sewenang-wenang, seperti menetapkan pemenang tender proyek atau menentukan kebijakan.
  • Kurangnya Akuntabilitas (A): Ketika pengawasan terhadap pejabat publik lemah dan tidak ada pertanggungjawaban, korupsi cenderung meningkat, dengan akuntabilitas yang rendah membuat pelaku korupsi merasa aman karena kecil kemungkinan mereka tertangkap.

Why: Mengapa Korupsi Masih Terjadi di Indonesia?

Pendekatan Robert Klitgaard membantu menjelaskan penyebab mendasar korupsi di Indonesia:

  • Monopoli Kekuasaan yang Tinggi, monopoli masih menjadi masalah besar di Indonesia, terutama dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Contoh nyata adalah kasus proyek e-KTP, di mana konsorsium pengadaan proyek didominasi oleh perusahaan tertentu yang memiliki hubungan dengan elit politik. Monopoli ini menciptakan peluang besar untuk manipulasi anggaran dan penggelembungan biaya.
  • Diskresi yang Berlebihan, banyak pejabat di Indonesia memiliki diskresi yang luas dalam mengambil keputusan, terutama dalam proyek-proyek besar. Hal ini sering terjadi tanpa adanya transparansi dan pengawasan memadai. Dalam kasus Dana Bansos, misalnya, Menteri Sosial memiliki wewenang penuh untuk menentukan vendor, yang kemudian digunakan untuk praktik korupsi.
  • Lemahnya Akuntabilitas, kurangnya akuntabilitas menciptakan celah bagi para pelaku korupsi untuk bertindak tanpa rasa takut akan konsekuensi. Mekanisme pengawasan sering kali tidak efektif, dan sanksi hukum tidak selalu diterapkan secara konsisten. Hal ini diperburuk oleh budaya "tebang pilih" dalam penegakan hukum.
  • Kompleksitas Sistem Birokrasi, birokrasi yang panjang dan berbelit-belit sering kali membuka peluang untuk suap dan pungli. Prosedur yang tidak transparan dan adanya terlalu banyak "pintu" dalam pengambilan keputusan menciptakan peluang untuk korupsi.

How: Bagaimana Mengatasi Korupsi e-KTP dengan Pendekatan Ini?

Berikut beberapa Solusi yang telah ditawarkan oleh Robert Klitgaard untuk mengurangi korupsi di Indonesia:

1. Mengurangi Monopoli (M)

  • Pemerintah harus memastikan bahwa proses tender untuk proyek-proyek besar bersifat kompetitif dan terbuka untuk banyak peserta. Misalnya, penggunaan sistem e-procurement dapat mengurangi monopoli dengan membuka akses bagi lebih banyak perusahaan untuk berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa.
  • Distribusi kekuasaan yang lebih merata dapat mengurangi risiko monopoli di tingkat pusat. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong partisipasi aktif pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.

2. Membatasi Diskresi (D)

  • Diskresi pejabat harus diatur dengan aturan yang jelas dan ketat. Keputusan penting harus melibatkan lebih banyak pihak, sehingga tidak hanya bergantung pada satu individu atau kelompok.
  • Sistem berbasis teknologi, seperti blockchain, dapat digunakan untuk memastikan bahwa keputusan dan transaksi bersifat transparan dan tidak dapat dimanipulasi.

3. Meningkatkan Akuntabilitas (A)

  • Lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diberdayakan untuk melakukan pengawasan secara berkala.
  • Partisipasi masyarakat dalam memantau penggunaan anggaran publik dapat menjadi langkah penting untuk meningkatkan akuntabilitas. Aplikasi pelaporan seperti Lapor! dan platform digital lainnya dapat digunakan untuk melibatkan warga.
  • Penegakan hukum yang tegas dan konsisten diperlukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi dengan meningkatkan Sanksi Hukum.

4. Edukasi dan Budaya Antikorupsi

  • Pemerintah harus melakukan kampanye edukasi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi.
  • Nilai-nilai antikorupsi harus diajarkan sejak dini di sekolah dan universitas. Hal ini penting untuk membangun generasi yang menjunjung tinggi integritas.

Why: Mengapa Pendekatan Ini Relevan untuk Kasus e-KTP?

Pendekatan Robert Klitgaard relevan dalam menganalisis kasus korupsi e-KTP karena skandal ini menunjukkan bagaimana monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas menciptakan peluang bagi korupsi besar-besaran. Berikut analisisnya:

1. Monopoli (M): 

  • Dalam proyek e-KTP, monopoli terjadi pada tahap pelaksanaan proyek, di mana hanya konsorsium tertentu yang diberi akses untuk memenangkan tender. Proses ini melibatkan manipulasi yang terencana oleh pihak-pihak yang memiliki kendali penuh atas proyek. Dominasi kekuasaan oleh pejabat pemerintah dan perusahaan tertentu menciptakan ketergantungan besar pada mereka, sehingga sulit bagi pihak lain untuk berpartisipasi.

2. Diskresi (D):

  • Diskresi berperan besar dalam proses pengadaan proyek e-KTP. Pejabat pemerintah memiliki wewenang luas untuk menentukan vendor tanpa pengawasan ketat. Hal ini memungkinkan manipulasi anggaran, rekayasa tender, dan kolusi antara pihak pemerintah dan swasta. Proyek ini juga tidak transparan, sehingga keputusan strategis diambil berdasarkan kepentingan pribadi, bukan kebutuhan masyarakat.

3. Kurangnya Akuntabilitas (A):

  • Minimnya mekanisme pengawasan internal dan eksternal menjadi celah besar dalam kasus ini. Pengawasan proyek oleh Kementerian Dalam Negeri tidak efektif, sehingga pelanggaran tidak terdeteksi selama bertahun-tahun. Selain itu, sistem hukum yang lambat dan budaya impunitas memperparah rendahnya akuntabilitas.

How: Bagaimana Pendekatan Klitgaard Dapat Mencegah Korupsi Serupa?

Untuk mencegah korupsi seperti kasus e-KTP, pendekatan Klitgaard memberikan panduan strategis yang fokus pada mengurangi monopoli, membatasi diskresi, dan meningkatkan akuntabilitas. Berikut langkah-langkah yang dapat diterapkan:

1. Mengurangi Monopoli (M):

  • Menghindari konsentrasi kekuasaan pada satu individu atau lembaga. Proyek besar seperti e-KTP harus melibatkan berbagai pihak independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
  • Memberikan kewenangan lebih kepada lembaga seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan KPK untuk memantau proyek sejak tahap perencanaan.

2. Membatasi Diskresi (D):

  • Semua keputusan proyek harus melalui prosedur standar yang telah ditetapkan. Wewenang individu dalam mengambil keputusan strategis harus dibatasi.
  • Setiap tahapan proyek harus dipublikasikan kepada masyarakat melalui platform digital.
  • Mengundang lembaga independen untuk mengawasi proyek-proyek besar. Partisipasi masyarakat sipil juga dapat membantu mengurangi celah penyalahgunaan diskresi.

3. Meningkatkan Akuntabilitas (A):

  • Mekanisme pelaporan harus mudah diakses oleh masyarakat untuk melaporkan penyimpangan. 
  • Proses hukum terhadap pelaku korupsi harus dilakukan dengan cepat dan transparan untuk memberikan efek jera.
  • Blockchain dapat digunakan untuk mencatat transaksi secara permanen, sehingga sulit dimanipulasi.

Jika ketiga elemen ini ditangani dengan serius, potensi korupsi dalam proyek seperti e-KTP dapat diminimalkan.

Kedua Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Berdasarkan Teori GONE oleh Jack Bologna

Korupsi adalah masalah yang telah lama mengakar di berbagai sektor di Indonesia, mulai dari politik hingga layanan publik. Salah satu cara memahami faktor penyebab korupsi adalah melalui Teori GONE, yang dikembangkan oleh Jack Bologna. Teori ini menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena kombinasi empat faktor: Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Artikel ini akan membahas penerapan teori ini, khususnya di Indonesia.

PPT Prof. Apollo
PPT Prof. Apollo

What: Apa Itu Teori GONE?

Teori GONE adalah kerangka kerja yang digunakan untuk menganalisis penyebab perilaku korupsi dan penipuan dalam organisasi atau pemerintahan. Berikut adalah penjelasan dari setiap elemen dalam teori ini:

  • Greed (Keserakahan) : Dorongan individu untuk memperoleh keuntungan pribadi yang berlebihan, baik berupa uang, kekuasaan, atau status.
  • Opportunity (Kesempatan) : Kondisi atau celah yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan korupsi tanpa risiko besar, seperti lemahnya pengawasan atau sistem kontrol.
  • Need (Kebutuhan) : Tekanan atau keinginan untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau keluarga, yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi.
  • Exposure (Pengungkapan) : Tingkat risiko yang dirasakan pelaku untuk tertangkap atau diketahui. Ketika eksposure rendah, pelaku cenderung merasa aman untuk melakukan korupsi.

Teori ini membantu menjelaskan bagaimana faktor internal dan eksternal berkontribusi pada terjadinya tindakan korupsi.

Why: Mengapa Teori GONE Relevan untuk Korupsi di Indonesia?

Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 berada di angka 34/100, yang menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi masalah serius. Berikut adalah alasan relevansi teori GONE dalam konteks Indonesia:

  • Greed (Keserakahan) yang Meluas, banyak kasus korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya ingin memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memperkaya diri sendiri. Contoh nyata adalah kasus korupsi e-KTP, di mana para pelaku, termasuk pejabat tinggi, mengambil keuntungan besar dari proyek yang seharusnya melayani masyarakat.
  • Kesempatan yang Berlimpah (Opportunity), sistem birokrasi yang kompleks dan kurang transparan menciptakan banyak celah untuk korupsi. Selain itu, pengawasan internal yang lemah sering kali membuat pelaku merasa bahwa mereka dapat bertindak tanpa konsekuensi. Misalnya, dalam kasus dana bansos, lemahnya pengawasan terhadap distribusi anggaran memungkinkan terjadinya manipulasi.
  • Tekanan atau Kebutuhan (Need), meski sering dianggap sebagai alasan sekunder, kebutuhan juga menjadi faktor yang relevan. Beberapa pelaku korupsi, terutama di level bawah, terlibat karena tekanan ekonomi, seperti biaya hidup yang tinggi atau tuntutan sosial.
  • Rendahnya Risiko Pengungkapan (Exposure), budaya impunitas di Indonesia sering membuat pelaku merasa aman. Banyak kasus korupsi yang baru terungkap setelah bertahun-tahun, dan bahkan ketika terungkap, sanksinya tidak selalu sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.

How: Bagaimana Teori GONE Dapat Diterapkan di Indonesia?

Untuk mengatasi korupsi di Indonesia, setiap elemen dalam teori GONE harus ditangani secara terintegrasi. Berikut adalah strategi yang dapat diterapkan:

1. Mengatasi Greed (Keserakahan)

  • Pemerintah harus memastikan bahwa pejabat publik menerima pelatihan etika secara berkala. Selain itu, integritas harus menjadi salah satu kriteria utama dalam perekrutan pejabat.
  • berat bagi pelaku korupsi, seperti penyitaan aset dan penjara jangka panjang, dapat mengurangi motif keserakahan.

2. Menutup Kesempatan (Opportunity)

  • Teknologi dapat digunakan untuk meminimalkan interaksi langsung antara masyarakat dan pejabat publik. Sistem e-government seperti e-procurement dapat mengurangi celah bagi praktik suap dan manipulasi.
  • Lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK perlu diberdayakan untuk memantau penggunaan anggaran secara real-time.

3. Mengurangi Kebutuhan (Need)

  • Memberikan gaji yang layak kepada pegawai negeri sipil dan pejabat publik dapat mengurangi tekanan ekonomi yang mendorong mereka untuk korupsi.
  • Pemerintah harus memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, sehingga tekanan untuk melakukan korupsi berkurang, terutama di kalangan pegawai rendah.

4. Meningkatkan Risiko Pengungkapan (Exposure)

  • Sistem berbasis data seperti blockchain dapat mencatat transaksi secara permanen dan transparan, sehingga sulit untuk memanipulasi atau menyembunyikan data.
  • Media dan masyarakat harus didorong untuk melaporkan kasus korupsi. Program perlindungan saksi juga perlu diperkuat untuk melindungi pelapor.
  • Proses hukum yang cepat dan transparan akan meningkatkan persepsi risiko bagi pelaku korupsi.

Why: Mengapa Teori GONE Relevan untuk Kasus e-KTP?

Proyek e-KTP adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang melibatkan penyalahgunaan dana hingga Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun. Berikut adalah analisis elemen teori GONE dalam konteks kasus ini:

  • Greed (Keserakahan): Keserakahan menjadi motif utama dalam kasus e-KTP. Para pejabat tinggi, termasuk anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri, mengambil keuntungan pribadi dari proyek yang seharusnya menjadi infrastruktur penting untuk identitas digital nasional. Mereka menggelembungkan anggaran proyek untuk menerima komisi besar dari vendor.
  • Opportunity (Kesempatan): Kesempatan korupsi dalam proyek ini muncul karena lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa, yang memungkinkan konsorsium tertentu untuk memenangkan proyek secara tidak adil. Proses tender tidak dilakukan secara transparan, dan ada manipulasi anggaran melalui kolusi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta.
  • Need (Kebutuhan): Bagi sebagian pelaku, kebutuhan juga menjadi faktor pendorong, meskipun bersifat sekunder. Tekanan sosial dan gaya hidup mewah yang harus dipenuhi membuat beberapa individu terlibat dalam korupsi, bahkan jika mereka sudah memiliki penghasilan yang memadai.
  • Exposure (Pengungkapan): Rendahnya risiko pengungkapan menjadi faktor utama. Korupsi dalam proyek e-KTP berlangsung selama bertahun-tahun sebelum akhirnya terungkap melalui laporan media dan investigasi KPK. Mekanisme pengawasan internal yang lemah di Kementerian Dalam Negeri memberikan rasa aman bagi para pelaku untuk melanjutkan tindakan korupsi mereka.

How: Bagaimana Teori GONE Dapat Diterapkan untuk Pencegahan?

Pendekatan teori GONE dapat membantu merancang langkah-langkah strategis untuk mencegah korupsi serupa di masa depan. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil berdasarkan setiap elemen teori:

1. Mengurangi Greed (Keserakahan)

  • Pemerintah perlu menanamkan nilai-nilai integritas kepada pejabat publik melalui pelatihan etika secara berkala.
  • Hukuman yang berat dan tegas, termasuk penyitaan aset hasil korupsi, dapat mengurangi motif keserakahan.
  • Pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini, baik di sekolah maupun di lingkungan kerja.

2. Menutup Celah Opportunity (Kesempatan)

  • Proses tender harus dilakukan secara transparan dan kompetitif, misalnya melalui sistem e-procurement.
  • Lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diberdayakan untuk memantau proyek besar secara real-time.
  • Blockchain dan teknologi lainnya dapat digunakan untuk mencatat transaksi dan keputusan proyek secara permanen, sehingga sulit dimanipulasi.

3. Mengatasi Need (Kebutuhan)

  • Memberikan gaji yang kompetitif kepada pejabat publik dapat mengurangi tekanan finansial yang mendorong mereka untuk korupsi.
  • Sistem jaminan sosial yang kuat dapat membantu mengurangi kebutuhan ekonomi yang mendesak bagi pelaku di level bawah.
  • Pemerintah harus mempromosikan budaya hidup sederhana untuk mengurangi tekanan sosial yang mendorong gaya hidup konsumtif.

4. Meningkatkan Exposure (Pengungkapan)

  • Semua tahap proyek harus dipublikasikan kepada masyarakat melalui platform digital.
  • Masyarakat dapat dilibatkan dalam pengawasan proyek melalui mekanisme pelaporan seperti Lapor! atau aplikasi serupa.
  • Proses investigasi dan penegakan hukum harus dilakukan secara cepat dan tegas untuk memberikan efek jera.

Teori ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi individu (keserakahan atau kebutuhan), tetapi juga oleh kelemahan struktural seperti kesempatan dan pengawasan yang buruk.

KESIMPULAN

Pendekatan Robert Klitgaard memberikan panduan yang jelas untuk memahami penyebab korupsi di Indonesia. Dengan mengurangi monopoli, membatasi diskresi, dan meningkatkan akuntabilitas, pemerintah dapat meminimalkan peluang untuk tindakan korupsi. 

Implementasi teknologi, pemberdayaan lembaga pengawas, dan peningkatan budaya antikorupsi adalah langkah-langkah kunci yang harus diambil untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang bersih sedangkan Teori GONE oleh Jack Bologna memberikan kerangka yang komprehensif untuk memahami penyebab korupsi di Indonesia. 

Dengan menganalisis keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan eksposure, kita dapat mengidentifikasi akar masalah korupsi dan merancang solusi yang efektif. 

Pendekatan ini menegaskan bahwa korupsi tidak hanya masalah individu, tetapi juga hasil dari kelemahan sistemik yang perlu diperbaiki. Dengan reformasi birokrasi, peningkatan transparansi, dan penegakan hukum yang tegas, Indonesia dapat mengurangi tingkat korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih. 

Pada kasus korupsi e-KTP menunjukkan bahwa korupsi terjadi akibat kombinasi faktor individu dan kelemahan sistemik. Teori GONE oleh Jack Bologna memberikan kerangka yang kuat untuk menganalisis penyebab korupsi dan merancang strategi pencegahan. Dengan mengurangi keserakahan, menutup celah kesempatan, mengatasi kebutuhan, dan meningkatkan risiko pengungkapan, pemerintah dapat menciptakan sistem yang lebih bersih dan transparan.

Pada kasus e-KTP menunjukkan bagaimana monopoli kekuasaan, diskresi yang tidak diawasi, dan kurangnya akuntabilitas menciptakan peluang besar untuk korupsi. Dengan mengintegrasikan pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna, pemerintah dapat memahami akar masalah korupsi secara sistemik dan individu. 

Langkah-langkah seperti memperkuat transparansi, membatasi kewenangan pejabat, dan membangun budaya integritas harus dilakukan secara konsisten untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA 

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (n.d.). Tindak pidana korupsi: Pengertian dan unsur-unsurnya. Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Diakses pada 20 November 2024, dari https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-publikasi/berita-terbaru/3026-tindak-pidana-korupsi-pengertian-dan-unsur-unsurnya.html

Klitgaard, Robert. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.

Bologna, Jack & Lindquist, Robert J. (1995). Fraud Auditing and Forensic Accounting. Wiley.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Analisis dan Evaluasi Kasus Korupsi Proyek e-KTP.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Laporan Audit Keuangan Proyek e-KTP.
Sistem Informasi Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). "Laporan Pengadaan Barang dan Jasa.

Media Indonesia. "Skandal e-KTP: Investigasi dan Dampaknya pada Keuangan Negara

Pinter Hukum. (2023). Fraud Triangle dalam Kasus Korupsi. Retrieved from Pinter Hukum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun