Mohon tunggu...
Widian Rienanda Ali
Widian Rienanda Ali Mohon Tunggu... Insinyur - Kuli Proyek

Andai mengangkasa tidak semudah berkhianat, pasti akan lebih banyak kisah kebaikan yang dapat ditorehkan dan dilaporkan kepada Tuhan untuk menunda datangnya kiamat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Krisis, Harapan, dan Disrupsi: Panduan Konyol untuk Menghadapi Kacau Balau Dunia

29 Agustus 2024   14:56 Diperbarui: 29 Agustus 2024   15:00 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Roman Krzanic, History for Tomorrow, 2024

Kita sedang berada dalam era yang ditandai dengan turbulensi ekstrem dan ancaman global yang saling terkait. Polikrisis. Metakrisis. Omnikrisis. Permakrisis. Sebutlah dengan nama apapun yang Anda pilih. Sistem di seluruh dunia mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan kekeringan kronis, mencairnya gletser, ekstremisme sayap kanan, risiko kecerdasan buatan, senjata biologis, kenaikan harga pangan dan energi, virus yang menyebar dengan cepat, hingga serangan siber.

Pertanyaan utama yang menghantui kita semua adalah apakah rangkaian krisis ini akan membawa kehancuran peradaban, atau apakah manusia akan berhasil menghadapi tantangan-tantangan ini dan menyesuaikan diri tanpa hancur oleh tekanan perubahan. Banyak tokoh  dari Karl Marx hingga Milton Friedman hingga Steve Jobs -- telah berpendapat bahwa saat-saat krisis seperti inilah yang memberikan peluang bagi perubahan transformatif dan inovasi. Apakah mungkin bagi kita untuk memanfaatkan ketidakstabilan yang tampaknya mengancam kita ini?

Namun, permasalahannya adalah krisis seringkali gagal membawa perubahan sistemik yang mendasar. Contoh-contohnya adalah krisis keuangan 2008 atau kebakaran hutan dan banjir akibat darurat iklim yang sedang berlangsung. Saya ingin mengeksplorasi kondisi-kondisi di mana pemerintah merespons krisis secara efektif dan melakukan perubahan kebijakan yang cepat dan radikal. Misalnya, apa yang diperlukan agar politisi berhenti menunda-nunda dan mengambil tindakan mendesak yang diperlukan untuk mengatasi pemanasan global?

Motivasi saya berasal dari rasa frustrasi yang nyata. Sekitar dua dekade lalu, ketika saya pertama kali mulai memahami skala krisis iklim, terutama setelah membaca buku Bill McKibben berjudul *The End of Nature* (1989), saya berpikir bahwa jika terjadi cukup banyak bencana iklim dalam waktu yang singkat -- seperti badai yang menghantam Shanghai dan New York pada minggu yang sama ketika sungai Thames membanjiri pusat kota London -- maka kita mungkin akan tersadar. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa saya keliru: terlalu banyak alasan bagi pemerintah untuk tidak bertindak, mulai dari kekuatan lobi industri bahan bakar fosil hingga ketakutan patologis akan mengabaikan tujuan pertumbuhan PDB yang terus menerus.

Inilah yang mendorong saya untuk menelusuri sejarah guna menemukan pola umum tentang bagaimana krisis menghasilkan perubahan substantif. Apa yang saya temukan? Respons krisis yang tanggap dan transformatif biasanya terjadi dalam empat konteks: perang, bencana, revolusi, dan disrupsi. Sebelum kita mendalami lebih jauh -- dan memperkenalkan model perubahan yang saya sebut sebagai *simpul disrupsi* -- penting untuk memperjelas makna 'krisis' itu sendiri.

Mari kita luruskan satu hal sejak awal: John F. Kennedy keliru dalam menyatakan bahwa dalam bahasa Mandarin, kata untuk 'krisis' (wij, ) terdiri dari dua karakter yang berarti 'bahaya' dan 'kesempatan'. Sebenarnya, karakter kedua, j (), lebih tepat diartikan sebagai 'titik perubahan' atau 'titik kritis'. Makna ini mirip dengan istilah dalam bahasa Inggris 'crisis', yang berasal dari bahasa Yunani kuno *krisis*, yang dalam bentuk kata kerjanya, *krino*, berarti 'memilih' atau 'memutuskan' pada saat yang kritis. Dalam konteks hukum, misalnya, krisis adalah titik keputusan penting di mana seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.

Seiring waktu, makna dan penerapan konsep krisis telah mengalami perkembangan. Untuk Thomas Paine pada abad ke-18, krisis adalah momen ambang yang dapat menggulingkan tatanan politik dan memerlukan keputusan moral fundamental, seperti memilih untuk mendukung perang kemerdekaan Amerika atau tidak. Karl Marx memandang krisis sebagai kondisi tak terhindarkan dalam kapitalisme, yang dapat mengakibatkan keretakan ekonomi dan politik. Baru-baru ini, Malcolm Gladwell memperkenalkan konsep 'titik kritis' -- momen di mana perubahan skala besar atau penularan cepat terjadi dalam suatu sistem. Dalam bahasa sehari-hari, kita sering menggunakan istilah 'krisis' untuk menggambarkan situasi kesulitan atau bahaya intens di mana tindakan mendesak diperlukan, seperti krisis dalam pernikahan atau krisis ekologis global.

Secara keseluruhan, kita dapat memahami krisis sebagai situasi darurat yang memerlukan keputusan berani untuk bergerak dalam satu arah tertentu. Lalu, kebijaksanaan apa yang dapat ditawarkan oleh sejarah untuk membantu kita memahami apa yang diperlukan bagi pemerintah untuk bertindak dengan berani -- dan efektif -- dalam merespons krisis?

Konteks yang paling umum di mana pemerintah berhasil merespons krisis dengan cara yang transformatif dan efektif adalah selama perang. Pertimbangkan Amerika Serikat selama Perang Dunia Kedua. Setelah serangan Jepang di Pearl Harbor pada bulan Desember 1941, pemerintah AS melaksanakan restrukturisasi ekonomi yang signifikan untuk mempersiapkan negara menghadapi perang. Meskipun menghadapi tentangan keras dari industri, pemerintah memberlakukan larangan produksi mobil pribadi dan menjatah bensin menjadi tiga galon per minggu. Presiden Franklin D. Roosevelt meningkatkan tarif pajak penghasilan federal teratas menjadi 94 persen pada akhir perang, dan pemerintah meminjam serta membelanjakan lebih banyak antara tahun 1942 dan 1945 daripada selama 150 tahun sebelumnya. Semua intervensi ini terjadi dalam kerangka kapitalisme pasar bebas. Selain itu, krisis perang mendorong AS untuk membuang kebijakan politik yang ada dan menjalin aliansi militer dengan Uni Soviet, musuh ideologisnya, demi mengalahkan musuh bersama.

Konteks kedua di mana pemerintah sering kali mengambil tindakan radikal dalam menghadapi krisis adalah setelah terjadinya bencana besar. Contohnya adalah bencana banjir dahsyat yang melanda Belanda pada tahun 1953, yang menyebabkan hampir 2.000 orang kehilangan nyawa. Sebagai respons terhadap bencana ini, pemerintah Belanda meluncurkan proyek ambisius yang dikenal sebagai Delta Works, sebuah sistem pertahanan banjir yang biaya pembangunannya setara dengan 20 persen dari PDB pada masa itu. Saat ini, tidak ada pemerintah yang mengambil langkah serupa dalam menghadapi krisis iklim, bahkan di Belanda sendiri, di mana seperempat wilayah negara berada di bawah permukaan laut dan banjir telah lama menjadi ancaman kritis.

Pandemi COVID-19 memberikan contoh modern lainnya. Sebagai respons terhadap darurat kesehatan masyarakat, pemerintah Inggris yang dipimpin oleh Partai Konservatif menerapkan serangkaian kebijakan radikal yang biasanya dianggap tidak konvensional oleh pemerintah berhaluan kanan-tengah. Langkah-langkah ini termasuk penutupan sekolah dan bisnis, penutupan perbatasan, pelarangan acara olahraga dan perjalanan udara, pengeluaran miliaran dolar untuk program vaksinasi, serta pembayaran gaji jutaan orang selama lebih dari setahun. Langkah-langkah ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah melihat krisis ini sebagai masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme pasar semata.

Kenyataannya adalah bahwa darurat iklim adalah jenis krisis yang salah

Kategori ketiga dari perubahan yang cepat dan transformatif adalah dalam konteks revolusi, yang sering kali mengarah pada perubahan dramatis dalam sistem politik. Sebagai contoh, selama perang saudara di akhir tahun 1940-an dan setelah Revolusi Tiongkok pada tahun 1949, Partai Komunis Tiongkok melaksanakan program redistribusi tanah yang radikal. Mereka menyita tanah pertanian dari tuan tanah yang kaya dan membagikannya kepada jutaan petani miskin, menciptakan perubahan struktural yang mendalam dalam masyarakat.

Demikian pula, Revolusi Kuba tahun 1959 memberikan kesempatan bagi rezim Fidel Castro untuk meluncurkan Kampanye Literasi Nasional Kuba. Pada awal tahun 1961, lebih dari seperempat juta relawan, termasuk 100.000 anak muda dan lebih dari setengahnya perempuan, dikerahkan untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada 700.000 warga Kuba. Program ini terbukti sangat sukses; dalam waktu satu tahun, angka buta huruf nasional menurun dari 24 persen menjadi hanya 4 persen. Terlepas dari pandangan yang berbeda tentang pemerintahan Castro, tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi dapat memicu perubahan radikal yang signifikan.

Ketiga konteks ini---perang, bencana, dan revolusi---membantu menjelaskan mengapa pemerintah sering gagal mengambil tindakan yang memadai terhadap krisis seperti perubahan iklim. Krisis iklim tidak memenuhi kategori ini. Ia tidak seperti perang, di mana musuh eksternal dapat diidentifikasi dengan jelas. Ia juga tidak muncul setelah momen revolusioner yang dapat menginspirasi perubahan transformatif. Selain itu, krisis iklim tidak menyerupai bencana seperti banjir Belanda tahun 1953, di mana tindakan diambil setelah bencana terjadi. Sebaliknya, krisis iklim memerlukan tindakan pencegahan sebelum bencana besar terjadi, dan kita harus bergerak lebih awal untuk menghindari melewati titik kritis perubahan yang tidak dapat diubah. Pencegahan, bukan pengobatan, adalah satu-satunya pilihan yang aman.

Apakah ini berarti harapan pemerintah untuk bertindak cepat dalam menghadapi krisis ekologis atau ancaman eksistensial lainnya sangat kecil? Apakah kita memang ditakdirkan untuk melihat peradaban kita hancur alih-alih berhasil bertahan? Untungnya, ada satu konteks krisis tambahan yang bisa memicu perubahan kebijakan radikal: disrupsi.

Ketika saya mengatakan "disrupsi," saya merujuk pada momen ketidakstabilan sistem yang membuka peluang untuk transformasi cepat. Disrupsi ini sering kali muncul dari kombinasi tiga faktor yang saling terkait: semacam krisis (meskipun tidak sebesar perang, revolusi, atau bencana besar), yang digabungkan dengan gerakan sosial yang mengganggu dan ide-ide visioner. Ketiga elemen ini menyatu dalam model yang saya sebut Disruption Nexus (lihat grafik).

Dengan model ini, kita dapat memahami bagaimana ketidakstabilan dapat menciptakan peluang untuk perubahan radikal. Jadi, meskipun krisis besar mungkin tampak menakutkan, disrupsi mungkin justru membawa harapan untuk pergeseran yang positif dan transformatif.

Mari kita mulai dengan sudut atas dari diagram segitiga yang diberi label 'krisis'. Model ini didasarkan pada pemahaman bahwa banyak krisis---seperti krisis keuangan 2008 atau kekeringan baru-baru ini di Spanyol---jarang cukup untuk mendorong perubahan kebijakan yang cepat dan signifikan, sebagaimana halnya dengan perang. Sebaliknya, bukti historis menunjukkan bahwa krisis kemungkinan besar akan menghasilkan perubahan substantif jika dua faktor lain juga hadir secara bersamaan: gerakan sosial dan gagasan inovatif.

Pertemuan umum dan pamflet tidak cukup untuk mempengaruhi lobi pemilik budak yang kuat

Gerakan sosial memainkan peran krusial dalam proses perubahan historis. Mereka sering kali bertindak untuk memperbesar krisis yang mungkin sebelumnya tidak mendapatkan perhatian atau diabaikan oleh aktor dominan dalam masyarakat. Seperti yang dinyatakan Naomi Klein dalam bukunya This Changes Everything (2014):

"Perbudakan bukanlah krisis bagi kaum elit Inggris dan Amerika hingga gerakan abolisionisme mengubahnya menjadi krisis. Diskriminasi rasial bukanlah krisis hingga gerakan hak-hak sipil mengubahnya menjadi krisis. Diskriminasi jenis kelamin bukanlah krisis hingga feminisme mengubahnya menjadi krisis. Apartheid bukanlah krisis hingga gerakan anti-apartheid mengubahnya menjadi krisis."

Pandangan ini, yang saya yakini sepenuhnya akurat, menyarankan bahwa gerakan ekologi global saat ini perlu melakukan hal yang sama dengan mengangkat isu perubahan iklim sebagai krisis yang mendesak, sehingga kelas politik mengakui bahwa perubahan iklim memerlukan respons setara dengan Rencana Marshall.

Beberapa contoh historis yang saya jelaskan secara rinci dalam buku saya History for Tomorrow (dapat ditemukan dalam daftar referensi lengkap di sana) menegaskan hubungan erat antara gerakan disruptif dan krisis.

Undang-Undang Penghapusan Perbudakan tahun 1833 di Inggris adalah contoh signifikan. Tentu ada krisis politik yang dirasakan secara umum pada awal tahun 1830-an, seperti tekanan dari kaum radikal perkotaan untuk memperluas hak pilih dan kerusuhan oleh pekerja pertanian miskin dalam Kerusuhan Captain Swing. Namun, meskipun terdapat krisis sosial yang meluas dan aktivis anti-perbudakan telah berjuang selama puluhan tahun---dengan lebih dari 700.000 orang masih diperbudak di perkebunan tebu milik Inggris di Karibia---strategi mereka yang sebagian besar bersifat reformis, seperti mengadakan pertemuan umum dan mendistribusikan pamflet, masih belum cukup untuk mengalahkan kekuatan pemilik budak yang dominan.

Titik balik terjadi pada tahun 1831 melalui sebuah tindakan gangguan dan pembangkangan yang menciptakan gelombang kejut di Inggris: pemberontakan budak di Jamaika. Lebih dari 20.000 pekerja yang diperbudak memberontak, membakar lebih dari 200 perkebunan. Meskipun pemberontakan tersebut akhirnya dipadamkan, aksi tersebut menyebabkan kepanikan di kalangan elit Inggris. Mereka mulai menyadari bahwa tanpa langkah-langkah untuk memberikan emansipasi, koloni-koloni mereka bisa kehilangan kontrol. Seperti yang diuraikan oleh sejarawan David Olusoga dalam Black and British (2016), pemberontakan Jamaika merupakan 'faktor terakhir yang memicu penghapusan perbudakan'. Tanpa gerakan disruptif ini, mungkin diperlukan waktu puluhan tahun lebih lama bagi penghapusan perbudakan untuk terwujud dalam hukum.

Penghancuran Perkebunan Roehampton (1832) oleh Adolphe Duperly, selama pemberontakan Jamaika. Courtesy Wikimedia
Penghancuran Perkebunan Roehampton (1832) oleh Adolphe Duperly, selama pemberontakan Jamaika. Courtesy Wikimedia

Penghancuran Perkebunan Roehampton (1832) oleh Adolphe Duperly, selama pemberontakan Jamaika. Courtesy Wikimedia
Contoh lain yang signifikan adalah perjuangan untuk hak pilih perempuan di Finlandia pada tahun 1906. Selama krisis politik pemogokan umum tahun 1905---sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan imperial Rusia---gerakan perempuan Finlandia memanfaatkan ketidakstabilan tersebut dengan turun ke jalan bersama anggota serikat buruh. Liga Perempuan Pekerja, bagian dari gerakan Sosial Demokrat yang sedang berkembang, menyelenggarakan lebih dari 200 protes publik untuk hak pilih dan pencalonan perempuan dalam pemilihan umum, serta memobilisasi puluhan ribu perempuan dalam demonstrasi massal. Dengan memperbesar krisis yang ada, mereka berhasil mengatasi oposisi parlemen terhadap hak pilih perempuan.

Contoh terkini lainnya adalah pemberontakan rakyat di Berlin pada November 1989, yang semakin memperburuk krisis politik yang telah berlangsung selama beberapa bulan sebelumnya. Kekacauan dalam pemerintahan Jerman Timur dan protes pro-demokrasi di seluruh Blok Timur, sebagian didorong oleh reformasi pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev, akhirnya menghasilkan peristiwa bersejarah pada 9 November ketika Tembok Berlin runtuh dan sistem yang ada tampak hancur.

Namun, dalam semua kasus ini, elemen ketiga selain krisis dan gerakan adalah kehadiran ide-ide visioner. Ekonom Milton Friedman dalam *Capitalism and Freedom* (1962) menulis bahwa meskipun krisis membuka peluang untuk perubahan, 'tindakan yang diambil bergantung pada ide-ide yang ada'. Hannah Arendt berpendapat bahwa krisis adalah waktu yang tepat untuk mempertanyakan ide-ide ortodoks, karena krisis membawa 'kehancuran kategori pemikiran dan standar penilaian kita', sehingga 'kebenaran tradisional tampak tidak berlaku'. Ide-ide lama menjadi goyang dan ide-ide baru muncul sebagai alternatif. Dalam ketiga contoh historis ini, ide-ide disruptif mengenai kesetaraan ras, hak perempuan, dan kebebasan demokratis memainkan peran kunci dalam keberhasilan gerakan transformasional.

Sebaliknya, krisis keuangan 2008 menggambarkan apa yang terjadi ketika ide-ide yang menyatukan tidak hadir. Meskipun terdapat dua sudut dari segitiga---krisis itu sendiri dan Gerakan Occupy yang menyerukan perubahan---yang kurang adalah ide-ide dan model ekonomi baru untuk menantang sistem yang gagal (contohnya, slogan Occupy yang tidak begitu produktif: 'Occupy Everything, Demand Nothing'). Akibatnya, para pemegang kekuasaan tradisional di bank-bank investasi berhasil menyelamatkan diri mereka sendiri, dan sistem keuangan lama tetap utuh. Situasi ini sangat berbeda dengan saat ini, ketika model-model ekonomi baru seperti 'ekonomi donat', degrowth, dan teori moneter modern mendapat perhatian publik yang jauh lebih besar.

Apakah teori Disruption Nexus merupakan kerangka yang kuat untuk memahami perubahan historis? Sama sekali tidak. Seperti yang dikatakan oleh ahli statistik George Box, "semua model salah, tetapi beberapa berguna." Tidak ada hukum sejarah yang pasti atau pola universal yang melampaui ruang dan waktu.

Ada beberapa peringatan penting. Saya tidak mengklaim bahwa perubahan transformatif akan selalu terjadi hanya karena ketiga elemen dalam model disrupsi---krisis, gerakan, dan ide-ide visioner---ada. Kadang-kadang, kekuatan sistem yang ada mungkin terlalu mengakar, sehingga meskipun ada upaya aktivis yang signifikan, perubahan tetap sulit dicapai. Contohnya adalah aktivis perdamaian AS yang meskipun berhasil memperoleh penolakan publik terhadap Perang Vietnam pada akhir 1960-an, tidak dapat menghentikan perang tersebut.

Selain itu, tanggapan terhadap krisis kadang-kadang dapat saling bertentangan, yang menyulitkan untuk mengambil tindakan yang efektif. Pada tahun 2018, misalnya, upaya pemerintah Prancis untuk menaikkan pajak karbon guna mengurangi emisi CO2 bertentangan dengan gerakan gilets jaunes (rompi kuning), yang menilai pajak tersebut tidak adil mengingat krisis biaya hidup yang sedang melanda.

Faktor lain juga dapat memainkan peran penting dalam menciptakan perubahan. Kepemimpinan individu sering kali krusial, seperti yang terlihat dalam perjuangan melawan perbudakan. Tokoh-tokoh seperti Samuel Sharpe, Elizabeth Heyrick, dan Thomas Clarkson memainkan peran yang sangat penting, dan tanpa kontribusi mereka, kisah penghapusan perbudakan tidak akan lengkap.

Model Disruption Nexus, meskipun tidak sempurna, menekankan pentingnya agensi manusia kolektif. Selama masa perang, kendali sering kali diambil alih oleh pemimpin militer dan politik. Sebaliknya, model disrupsi memberikan peluang bagi masyarakat biasa untuk mengorganisasi diri dan mengambil tindakan yang dapat memicu perubahan kebijakan radikal.

Interaksi dari ketiga elemen---krisis, gerakan, dan ide---menciptakan gelombang kemauan politik, suatu aspek perubahan yang sering kali sulit dipahami.

Akhirnya, penting untuk menyadari bahwa krisis dapat mengarah pada berbagai hasil. Depresi Besar tahun 1930-an, misalnya, berkontribusi pada munculnya negara kesejahteraan Sosial Demokrat di Skandinavia, tetapi juga membantu kebangkitan fasisme di Jerman dan Italia. Dalam menghadapi krisis, berhati-hatilah dengan apa yang Anda inginkan. Mereka yang mengharapkan krisis sebagai pemicu perubahan harus waspada, karena bermain api dapat menimbulkan risiko yang tak terduga.

Sejarah menunjukkan bahwa harapan terbesar kita untuk mengimplementasikan Rencana Marshall hijau yang mendesak dalam menghadapi krisis ekologi planet ini terletak pada kebutuhan untuk melakukan tindakan radikal, bukan reformasi setengah hati atau tanggapan proporsional. Seperti yang dikatakan sejarawan Howard Zinn pada tahun 1966, "Masalah krusial zaman kita tidak dapat lagi dibiarkan mendidih dengan api kecil dari gradualisme." Jika kita ingin bertahan dan mengatasi krisis selama beberapa dekade mendatang, kita memerlukan gerakan pemberontakan dan ide-ide yang mengubah sistem untuk bersatu dengan krisis lingkungan, menciptakan Disrupsi Besar yang akan mengarahkan umat manusia kembali menuju peradaban ekologis.

Apakah kita mampu menghadapi tantangan ini? Di sini, penting untuk membedakan antara optimisme dan harapan. Optimisme sering kali berarti keyakinan bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja meskipun ada bukti yang bertentangan. Saya tidak menganggap diri saya seorang optimis. Seperti yang dinyatakan Peter Frankopan dalam bukunya *The Earth Transformed* (2023), "Sebagian besar sejarah manusia adalah tentang kegagalan untuk memahami atau beradaptasi dengan keadaan yang berubah di dunia fisik dan alam di sekitar kita." Banyak peradaban kuno, seperti Mesopotamia dan semenanjung Yucatn, telah lenyap karena ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi.

Namun, saya percaya pada harapan radikal. Harapan radikal berarti mengakui bahwa peluang keberhasilan mungkin tipis, tetapi tetap terdorong untuk bertindak berdasarkan nilai-nilai dan visi yang mendalam. Sejarah menunjukkan bahwa umat manusia sering kali bangkit secara kolektif untuk mengatasi masalah dan mengatasi krisis, meskipun melawan segala rintangan.

Tantangan kita sebagai peradaban adalah memanfaatkan pelajaran dari sejarah untuk membentuk masa depan dan mengubah harapan radikal menjadi tindakan nyata. Saatnya untuk bertindak dengan keberanian dan tekad untuk menciptakan perubahan yang mendalam dan transformatif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun